Yasodhara Puteri

Mencerdaskan…Mencerahkan….

PERSAHABATAN DAN CINTA DALAM METEOR GARDEN

Posted by yasodhara on April 3, 2009

JANGAN TAKUT BERSIKAP TERBUKA

Banyak orang menilai, kisah persahabatan sejati diantara empat tokoh utamanya, itulah yang menjadikan film Meteor Garden digemari. Tentu saja disamping daya tarik keempat tokoh itu sendiri yang rupawan, charming, enak dipandang, kisah cinta Dao Ming She dengan San Chai (Barbie Xu) untuk mencapai hubungan puncak yang tersendat-sendat juga menjadi daya tarik sinetron itu.

Relasi persahabatan dari keempat tokoh F4 itu: Dao Ming Shi (Jerry Yan), Wu Zhe Lei (Victor Zhou), Xi Men (Ken Zhu), Me Zhuo (Vannes Wu) yang sangat dirindukan banyak penonton itu seakan-akan mencerminkan persahabatan sejati seperti yang terdapat dalam ajaran Buddha.

Keempatnya selalu siap berlaku sebagai sahabat sejati terhadap yang lainnya; yang selalu sedia baik dalam susah maupun senang, dan menunjukkan jalan yang terbaik dan benar bagi sahabatnya, serta kejujuran dan kebebasan (tak ada tekanan diantara mereka).

Sahabat dan True Love

Ditengah-tengah proses pendewasaan dirinya, para anggota F4 itu dimatangkan dalam persahabatan sejati diantara mereka, seakan relasi diantara mereka mencerminkan ajaran Buddha dalam Sigalovada Sutta yang berbunyi:

Menjaga sahabatnya sewaktu lengah, menjadi pelindung kala dalam kesulitan, memberi bantuan setinggi-tingginya, menceritakan rahasia atau kesulitannya serta menjaga rahasia sahabatnya, tidak meninggalkan dikala sahabat dalam kesulitan., bersedia berkorban demi sahabat, mencegah berbuat jahat, menganjurkan berbuat baik, memberi tahu, menunjukkan jalan kepada kebaikan.

Sepertinya mereka paham bagaimana sesungguhnya seorang sahabat bersikap. Lihatlah bagaimana Siau Shuan, mantan anak Panti Asuhan yang punya dendam terhadap Dao Ming She dinasehati Wu Zhe Lei, “Jika di dalam bayangan hatimu tidak dapatkan kebebasan, maka tak bisa kau rasakan kejujuranmu dan kebebasan. Hubungan antar manusia jika tidak saling jujur maka tidak dapatkan kebebasan.

Dari relasi persahabatan itu juga tergambar terjadinya proses pendewasaan diri masing-masing anggota F4. Begitu pula dalam kisah cinta Dao Ming She dan San Chai yang mirip Cinderella di alam demokratis ini. Perjalanan cinta mereka mencapai hubungan puncak yang mendapatkan banyak halangan, baik internal dari dalam diri sendiri, sulit bersikap terbuka maupun ekstenal, lingkungan, keluarga, bisa memberi gambaran tentang sebuah perjalanan cinta yang anggun, namun juga renungan bagaimana untuk tidak takut bersikap terbuka.

Kekuatan cinta itu memang hebat. Dan True Love membuat orang yang mengalaminya jadi serba salah. Dao Ming She seakan atau telah berteriak kepada San Chai, “Aku mau kamu tahu, yaitu aku mau kamu.” Tapi justru ucapan itu membuat San Chai jadi tersipu-sipu, serba malu, namun juga merasa surprise. San Chai jadi tidak dapat bersikap terbuka. Kata orang, pacaran itu perlu punya perasaan, baru bisa buat orang bergairah. Lalu, larilah San Chai, dan Dao Ming She pun dibuatnya kembali bergairah.

Lain kesempatan datang the other women di sisi Dao Ming She, dan San Chai pun kembali dirudung cemburu namun berusaha bersikap anggun meski harus menekan perasaan yang sebenarnya dengan begitu rapat. Dalam hati San Chai berkata, “Saya malu bicara tentang perasaanku. Orang lain tentu tidak suka kalau saya mengucapkan semua perasaan: bahwa saya senang, malu, muak atau tertarik. Lebih baik main sedikit sandiwara.”

Membuka Diri

Memang sedikit bersandiwara, bisa mencerminkan keanggunan seorang perempuan kala dia jatuh cinta. Tapi kalau dalam persahabatan selalu diwarnai sandiwara tentu saja hubungan akan tetap dangkal sedangkal air di pantai. Pribadi mungkin juga tidak akan berkembang. Kalau main sandiwara terus, main peran yang bukan peran kita sendiri, pasang topeng yang bukan wajah kita sendiri, kita tidak pernah akan bertemu, tidak akan pernah merasakan persahabatan sejati atau kesatuan, pertemuan, encounter.

Persahabatan itu perlu membuka diri. Dan ini juga berlaku dalam kasih-mengasihi. Meski yang terakhir ini pun perlu pula memperhatikan keanggunan dan keindahan. Kalau setiap orang tinggal dalam bentengnya sendiri, tak terbuka, tak ada komunikasi, tak ada tukar menukar pengalaman atau perasaan tak akan terjadi perkembangan meski mungkin diantara mereka banyak omong.

Setiap orang itu sesungguhnya punya begitu banyak feelings. Punya begitu banyak perasaan, hasrat, keinginan, dan begitu banyak yang bagus. Setiap hati itu kaya. Mengapa mau dikunci? Mengapa disimpan dalam bentengmu? Mengapa tidak kita bagi satu sama lain. Mengapa kita terus begitu menyendiri?

Komunikasi itu perlu, karena dengan begitu kita punya hal yang sama, something in common. Mengapa mesti takut mengatakan siapa dirimu itu. Bukankah kita bersahabat. Jangan khawatir nanti teman tidak suka. Ya mengungkapkan diri secara jujur memang menuntut keberanian. Selalu ada risiko. Tetapi risiko itu sesungguhnya tidaklah bermasalah banget bila dibandingkan dengan diri yang berkembang. Tanpa komunikasi yang sungguh dari hati ke hati, kepribadian tidak dapat menjadi dewasa.

Banyak pengetahuan, bisa tukar-menukar dan mungkin otak pun dapat bertambah Tapi bila tidak menyertai perasaan di baliknya, maka mana mungkin hati dan diri berkembang.. Manusia hanya berkembang dan membina kepribadian dalam komunikasi dengan sesamanya. Harus dapat saling percaya-mempercayai. Kita perlu akan persahabatan, akan kepercayaan, dan akan kasih sayang.

Encounter

Di dalam dua hati mereka yang bersahabat dan berkasih akan muncul sesuatu yang baru. Itu berkat “encounter” pertemuan perasaan dan hati mereka. Entah itu terjadi ketika mereka sedang berada di pantai yang sepi, di kafe, di bioskop atau di ruang kerja. Tetapi banyak orang meski matahari sudah terbenam, malam sudah setengah habis, waktu berpisah sudah tiba, tetap saja tidak juga hilang rasa takutnya untuk mengatakan siapa dirinya, bagaimana perasaan sesungguhnya. Tetap saja tidak berani untuk bersikap terbuka.

Bila mau bersahabat atau berani jatuh cinta, tentunya harus berani juga besikap terbuka! Dalam bahasa ilmu jiwa ‘pertemuan’ atau ‘encounter’ menggambarkan sebuah hubungan khas antar dua pribadi. Itulah suatu persatuan atau hubungan ‘antar-pribadi’ yang sudah tercapai. Gabriel Marcel (1889) seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Perancis menyebut pertemuan itu sebagai “an ontological communion,“ suatu pembauran dari hati dua orang yang sesungguhnya.

Dalam encounter itu, bila dua orang sungguh-sungguh bertemu, dan mereka itu pun tidak selalu mengutamakan persoalan-persoalan yang mereka alami masing-masing atau menyangkut cara-cara menyelesaikan persoalan itu. Mereka hanya ada bersama dan hanya akan merasakan dan menghayati kebersamaan. Saya membuka diri saya kepada saudara dan mempersilahkan saudara masuk.

Dalam pertemuan sejati pihak lain bukan lagi seorang yang asing. Kedua pihak telah menjadi engkau dan aku, (Ich und Du) yang masing-masing sangat peka terhadap apa yang dialami pihak yang lain. Secara aneh dan sukar dijelaskan dia menjadi seorang istimewa di mata saya, atau malah bagian dari dunia dan diri saya. Kita masuk ke dalam hidupnya sejauh mungkin dan dia masuk ke dalam hidup saya. Terjadilah semacam persenyawaan dalam kebersamaan, meski kita tetap memegang kepribadian kita masing-masing: “Satu bukannya separuh dari dua, melainkan dua adalah separuh tambah separuh dari satu.”

Saat kebersamaan dan persenyawaan itulah, mereka bagaikan dua alat musik yang memainkan nada-nada serta irama yang persis sama dan mengeluarkan lagu yang sama pula. Dan mungkin, pada taraf inilah puncak hubungan yang dimaksud oleh Sang Buddha untuk dicapai. Hubungan dua anak manusia berkasih yang mencapai samma sraddha, samma sila, samma prajna, dan samma cagga.

Dalam kisah F4 di Meteor Garden mungkin terlihat percik-percik persahabatan sejati itu. Begitu pula percikan encounter antara Dao Ming She dan San Cai. Tetapi hubungan puncak diantara keduanya ini masih membutuhkan pendakian. Dan karena itulah, kelanjutan kisah diantara mereka pun masih banyak yang menantikannya, menjadikan serial sinetron berkelanjutan sebagaimana cermin dari kehausan banyak orang akan persahatan sejati, keterbukaan dan cinta.! (Jo Priastana).

Posted in Wacana | Leave a Comment »

BOLA DHARMA

Posted by yasodhara on April 3, 2009

WHEN THINGS FALL APART

FROM NOTHING TO SOMETHING

Oleh Jo Priastana

Pesepak-bola Roberto Baggio, yang dikenal juga seorang penganut Buddhis yang taat pernah memberikan petuah teka-teki kebijaksanaan hidup kepada Luca Tony, striker Tim Azzuri Italia Piala Dunia 2006 sewaktu bersamanya bermain di Club Brescia. Liga Italia.

Petuah mantan kapten Tim Piala Dunia Italia, 1994, murid Dalai Lama ini berbuyi: “Jikalau kamu mau menjadi pemain bola yang baik, kamu harus menjadi manusia yang baik.” Petuah ini jelas menggambarkan bahwa menjadi manusia baik itu merupakan tujuan utama sebagai seseorang mengatasi dan mensyaratkan ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya.

Menjadi pesepak-bola yang baik misalnya juga tidak lepas dari menjadi manusia yang baik. Mungkin banyak pemain sepak bola yang berhasil memecahkan petuah teka teki kebijaksanaan hidup Roberto Baggio itu, seturut dengan pengalaman hidup yang dialaminya. Setidaknya ini mungkin yang dialami oleh maha bintang piala dunia 2006, Zinade Zidane.

From Something To Nothing

Zidane yang sampai saat itu disebut-sebut tidak hanya sebagai pemain bola yang handal, tetapi juga sebagai manusia yang baik, rendah hati, sportif, tidak emosional akhirnya harus berakhir secara tragis. Di ujung akhir babak final yang menyisakan pertandingan 5 menit lagi berakhir, ternyata ia melepaskan kebaikannya sebagai manusia, harus berbuat salah dikartu-merahkan, setelah menyeruduk pemain Italia Matterazi.

Citra Zinade Zidane yang telah terlanjur melekat pada dirinya seabagai manusia baik sepanjang kariernya sebagai pesepak bola hancur berantakan justru pada saat diujung akhir pertandingan. Malapetaka menimpanya justru ditengah-tengah puncak kecemerlangannya, segala sesuatu yang telah dimilikinya dan sesaat lagi akan memperoleh pengukuhannya tiba-tiba hancur berkeping-keping oleh karena kesalahan setitik dan sekejap, from something to nothing.

Hidup tampaknya begitu mudah pecah. Apa yang telah dibina dan diusahakan bertahun-tahun dapat luruh dengan seketika, baik itu dalam prestasi yang telah dibina maupun jalan kesucian yang telah ditempuh. Bahkan cinta pun rawan terbelah, perkawinan tak luput dari perceraian, apa yang tampak serasi atau ditutup secara rapih ternyata menyimpan retakan-retakan dan kebusukan.

Itulah barangkali derita, hukum kesunyataan yang terjadi dan harus ditanggung manusia, dimana perubahan senantiasa mengintip. Menjadikan manusia harus menanggungnya karena dapat menjadikan hidupya berantakan dan bahkan berakhir dengan kehancuran, frustrasi tak terkira hingga kematian.

Manusia itu mudah pecah, berserpih-serpih, dan setiap serpihan pecahannya itu mengingatkan dan menyadarkan bahwa tidak hanya kaca atau gelas, tetapi juga dirinya sendiri mudah pecah. Sebab manusia yang tercipta atas nama dan rupa adalah insan yang dapat bersalah dan fana atau tidak kekal.

Manusia memang tersusun dari rupa dan nama yang, mempunyai nafsu, ketakutan, kerinduan dan cinta. Manusia tidak terbuat dari plastik yang liat atau baja yang kuat, karena itu ia mudah pecah. Itulah realitas yang harus dihadapi setiap insan, sebagaimana dialami oleh Zinade Zidane, dan yang diungkapkan oleh Pema Chodron, atau pengarang Rudolf Walter dalam kumpulan karangannya tentang perlunya “hati yang terbuka” agar manusia bisa menerima dirinya dan menjadi bahagia.

When Things Fall Apart

Nasib yang dialami Zidane di World Cup 2006 dimana sebutan pemain dan manusia yang baik itu runtuh di sisa lima menit terakhir pertandingan usai, sepertinya mengingatkan kita akan judul buku yang ditulis oleh Pema Chodron, “When Things Fall Apart,” Ketika segalanya berantakan atau tak terkendaku, terpisah

Buku yang ditulis oleh Pema Chodron, seorang biarawati Buddha di AS ini berisikan nasihat-nasihat yang menyejukkan hati bagi siapa saja ketika menghadapi masa-masa yang sulit. Ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri, Pema mengakui ia bisa keluar dari situasi yang sulit berkat menghayati ajaran Buddha.

Mantan murid Chgyam Trungpa, guru meditasi terkenal yang mendirikan biara Tibet di Amerika Utara ini mengungkapkan tentang efektifnya ajaran Buddha dalam menata kehidupan yang tak terkendali, dan kembali membalikkannya menjadi kehidupan yang baik dan terkendali, penuh kebahagiaan.

Menurutnya, situasi tak terkendali itu dapat saja tiba-tiba dtang sehingga menutup peluang kebahagiaan yang ada di depan mata, karena kita sering terperangkap oleh upaya-upaya untuk melarikan diri dari kepedihan dan penderitaan dan membalasnya dengan agresi. Keadaan yang persis itulah yang dialami Zinade Zidane. Menurut pengakuannya, ia menanduk Matterazi karena tak kuasa menahan cemohan dan hinaan yang ditujukan kepadanya.

Sebagaimana pengalaman hidup yang pernah diterimanya, Pema memberi saran agar kita dapat bersahabat. Katanya, justru ditengan-tengah situasi yang menyakitkan atau ketika kekacauan itu datang, kita perlu menumbuhkan sikap bersahabat, dan rileks, sehingga dapat menemukan kebenaran dan kasih dan mengatasi kepedihan yang datang.

Pema menyarankan untuk menghadapinya dengan penuh welas asih terhadap diri sendiri. Kebangkitan sikap penuh belas kasih yang tiada kenal takut terhadap kepedihan kita sendiri maupun kepedihan sesama kita. Inilah yang diungkapkan Buddha, ajaran tentang kejujuran, kemurahan dan keberanian, rileks dengan apa pun yang terjadi, dan tetap di jalan yang benar.

Menurutnya, setelah kamu dapat bersahabat dengan dirimu, maka situasi mu pun akan lebih bersahabat. Tekadang karena penyakit atau kematian lah kita temukan diri kita di tempat dan pada situasi kepahitan, kepedihan itu. Karenaya, setiap saat itu sangat berarti, setiap detik itu demikian berharga, seluruh kehidupan menjadi sangat berarti, tidak takut lagi menghadapi kematian.

Sesungguhnya ketika segalanya tak terkendali, justru disitulah datang semacam ujian dan juga semacam kesembuhan. Terkendali, tak terkendali, terkendali, tak terkendali, terkendali. Kita seringkali menganggap dapat memperkiarakan segala sesuatu. Tapi sesungguhnya kita tak tahu apa yang benar-benar terjadi.

Kita anggap sesuatu itu buruk, kita anggap sesuatu itu baik, padahal kita tidak benar-benar tahu, dan apakah ketika berada di tebing itu adalah semacam ujian? Maka petuah teka-teki kebijaksanaan hidup yang dilontarkan oleh pesepak-bola Roberto Baggio itu pun terasa menemukan momentumnya, semacam ujian kehidupan bagi kita semua.

From Nothing To Something

Tampaknya rahasia hidup juga tercermin dalam sebuah permainan sepak-bola. Lihatlah, bukankah dalam permainan yang menjadi pujaan milyaran manusia di muka bumi itu tercermin semua segala perilaku manusia yang diperlukan untuk hidup. Termasuk juga mungkin soal nasib yang tak menentu sebelum pluit akhir berbunyi, sebelum tarikan nafas terakhir kehidupan manusia.

Sepak bola menarik milyaran manusia menontonnya sepertinya mereka menonton rahasia kehidupan mereka sendiri. Bhiksu kepala Shaolin, Shi Yong xin, pun menonton dan bahkan diundang menyaksikan sepak bola Piala Dunia 2006 oleh FIFA,. dan juga turut memberikan komentarnya tentang sepak-bola, dan yang sedikit banyaknya ada hubungan dengan petuah kebijaksanaan hidup yang dikatakan Roberto Baggio.

Katanya, sepak bola itu menekankan kerja sama, semangat perjuangan, dan talenta (bakat) serta keahlian individu. Selain itu, tidak hanya keahlian saja sebagai pesepakbola, tapi unsur-unsur kebaikan sebagai manusia pun harus menyertai olahraga itu, seperti berkwajiban bermain bersih dan tidak curang, memiliki kedisiplinan dan pengedalian diri.

Sepakbola ternyata memberi kita juga suatu falsafah hidup yang berguna. Sepakbola bukan hanya sekedar olahraga, tetapi juga memberikan kekayaan inspirasi pelajaran hidup tentang kerja keras, pemain berlatih dan berjuang jatuh bangun, kalah dan menang, tidak mudah menyerah, dan bahkan perlajaran yang akhirnya bisa mengubah from nothing to something, dari nyaris kalah hingga akhirnya menang pada detik terakhir.

Sebuah pelajaran, bahwa sampai detik terakhir hidup kita pun senantiasa perlu memiliki harapan sehingga perjuangan, semangat hidup terus berlangsung. Pertandingan yang dibatasi waktu, dan karenanya dapat menyadarkan manusia bahwa hidupnya juga suatu saat akan berakhir. Dalam rentang waktu itu, sebagaimana permainan sepakbola, hendaknya kita dapat menggunakan kesempatan dan waktu sebaik-baiknya untuk terus berjuang dan berkarya..

Bola nasib yang tak terelakkan seperti roda cakra hari Asadha yang mengumandangkan hidup ini dukkha, anicca dan anatta memang harus terjadi. Tapi perlu juga dihadapi dengan pantang menyerah dan terus mencari tahu dengan kerja keras dan kompetisi sampai peluit akhir berbunyi.

Pelajaran jangan lengah dan meninggalkan kewaspadaan, sekalipun telah menjelang akhir. Menit-menit terakhir bisa jadi begitu berarti, seperti pada dua menit terakhir kesebelasan Jerman dikalahkan oleh Italia dalam semi final World Cup 2006, karena lengah dan hilangnya kewaspadaan, lenyapnya konsentrasi.

Legenda sepak bola, Pele pernah bilang, pada sepak bola, anda bisa melihat kehidupan di dalamnya. Sisi kehidupan tentang perputaran nasib. Sepak bola sepertinya mencerminkan nasib dan takdir manusia. Berbagai drama yang kita saksikan di ajang Piala Dunia 2006 menunjukkan betapa akhirnya manusia tidak bisa menghindar dari yang namanya nasib, namanya perubahan.

Nasib baik dan nasib buruk adalah bagian yang harus diterima, tanpa pernah kita bisa mengetahui kapan semua akan datang. Hanya saja kita pun harus ingat bahwa tidaklah mungkin kita hanya menunggu nasib. Takdir manusia untuk terus berusaha, bekerja dengan penuh semangat, pantang menyerah, dan mempersiapkan kemampuan terbaik, untuk bisa meraih cita-cita.

Sampai menit terakhir berbunyi, perjuangan harus terus dilakukan, sebelum kematian menjemput cita-cita ini harus diperjuangkan. Demikian tekad luar biasa Siddharta Muda menjelang pencapaian Nirvananya dibawah pohon Bodhi. To be or not to be, tekad yang tercermin dalam lemparan mangkuknya melawan arus sungai neranjara, kalau memang namaku Siddharta: Cita-Cita Yang Tercapai, maka hal yang tak mungkin pun bisa menjadi mungkin.

Mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus, from nothing to something. Adalah mungkin untuk sesuatu yang diperkirakan tidak mungkin. Kesempatan dan peluang kemenangan senantiasa terbuka, terus berjuang sampai menit terakhir berbunyi.

Cakra, roda dharma yang beputar menyimbolkan waktu yang terus bergulir mengukir nasib dan keterbatasan akhir hidup manusia. Buddhadharma terus berputar mengabarkan keterbatasan manusia dalam waktu, dan sekaligus memperlihatkan keuniversalan dan keabadian Buddhaddharma.

Seperti Baggio mengatakan, maka dalam Buddhadharma itu kemanusiaan jauh lebih besar dari ketrampilan. Manusia mudah pecah dan apa yang sudah dupupuk bisa berantakan. Dan karenanya, pesan yang disampaikannya adalah: jangan hilang konsentrasi, harus waspada, terus berjuang sekalipun pluit akhir akan berbunyi, terus menumbuhkan nimita yang baik sekalipun kematian akan menjelang.

***

Posted in Wacana | Leave a Comment »

BULAN BUDDHA

Posted by yasodhara on February 15, 2009

JO PRIASTANA

Bulan yang menyejukkan

Bulan yang sangat indah

Sedang bergerak menyeberangi lautan dalam

Bulan bulat purnama

Bulan pencerahan Buddha

Sedang menjelajah langit yang tinggi

Bulan yang sangat indah

Bulan pencerahan Bodhi

Menyinari gunung maupun sungai

Bulan pencerahan Buddha

Pemandangannya jelas terpantulkan

Manakalah sungai hati ini begitu tenang

Manakala gunung jiwa ini begitu lapang

Bulan pencerahan Bodhi

Pencerahannya jelas terasakan

Manakala lautan hati ini begitu bening

Manakala langit jiwa ini begitu hening.

**13209**

Posted in Puisi | Leave a Comment »

MENYENTUH ANAK KECIL DALAM DIRI KITA

Posted by yasodhara on February 15, 2009

Bayangkanlah ada anak kecil dalam diri kita. Anak kecil yang merupakan diri kita sewaktu kecil. Mungkin banyak kejadian sewaktu masa kecil yang membekas akibat perlakukan dan pendidikan orang tua. Namun, apa pun kejadian yang pernah dialami sewaktu kecil itu, cobalah saat ini kita mengenali dan berusaha memahaminya dengan menyentuh anak kecil yang ada di dalam diri kita itu.
Mungkin orang tua telah meninggalkan luka amarah, dendam dan kebencian akibat tindakan kekerasan yang dilakukannya sewaktu kita kecil. Namun, dalam menyentuh anak kecil di dalam diri kita itu saat ini, marilah kita sentuh hati anak kecil yang lembuh dan halus itu dengan cinta kasih.
Dengan melihatnya secara mendalam (vipassana) cobala kita berusaha mengenali dan memahami bahwa duri amarah, dendam dan kebencian yang tertanam itu adalah juga kasih sayang orang tua yang mungkin belum mengerti mengenai sia-sianya pendidikan kekerasan yang dilakukannya, serta belum memahami kebutuhan anak untuk dimengeti dan diberlakukan dengan kelembutan.
Jagalah hati anak kecil yang masih mengandung cinta kasih, perasaan lembut, kasih sayang itu, dan berusahalan mencabut kemarahan, dendam, benci yang terlanjur tertanam hanya karena kekeliruan. Sentuhlah secara mendalam sambil menumbuhkan pengetian bahwa tak ada orang tua yang tidak cinta kepada anaknya, meski seringkali ekprssi cinta itu salah dan keliru.
Kita semua akan menjadi orang tua, kita juga bagian dari keberlangsungan orang tua kita. Haruskah pendidikan kekerasan akan juga tertular kepada anak-anak kita seterusnya? Cobalah lihat, adakah keketusan, kekerasan kepala, amarah, dendam pada anak-anak kita. Dari manakah itu datangnya? Haruskah rantai kekerasan dan kebencian, amarah dan dan dendam berkelanjutan terus, dari generasi ke generasi, menciptakan konflik dan peperangan tak ada habis-habisnya.
Marilah dalam duduk hening di tengah malam ini, kita layangkan kembali pandangan kita ke masa silam, masa kecil kita. Sentuhlah secara mendalam anak kecil yang ada dalam diri kita itu, dengarkan, amati dan rasakanlah saja. Mungkin masih ada energi dendam, benci dan amarah, cobalah kenali dan pahami dan transformasikan kembali ke dalam hati anak kecil kita yang lembut, suci, penuh harap kasih sayang dengan cara memahami bahwa segala perlakuan orang tua kita adalah sesungguhnya cerminan dari cinta kasihnya.
Orang tua dalam diri kita, anak kecil dalam diri kita adalah sama-sama saling mencintai. Anak kecil yang lemah yang memerlukan pengertian dengan sentuhan kasih sayang dan kelembutan tanpa mempergunakan kekerasan. Orang tua yang mungkin karena kesibukan menafkahi keluarga yang masih belum-tahu dan masih belum mengenali akan sikap kelembutan yang dibutuhkan anaknya, ketimbang sikap kekerasan dan ketergesa-gesaa yang dilakukannya yang menjadikan anaknya terluka.
Sentuhlah anak kecil kita dalam diri kita. Cabutlah karat dendam, benci, amarah, kekesalan ketika mengeluarkan nafas dalam-dalam, dan tanamkanlah kembali teratai hati yang lembut, penuh kasih, cinta dan sayang ketika menarik nafas dalam-dalam. Kita melakukannya dengan penuh kesadaran (mindfulness), hingga karat energi negatif yang tersimpan itu meleleh perlahan seturut dengan mekarnya teratai energi yang positif yang menjadikan diri kita tumbuh dalam ketegaran kebaikan dan cinta.
Kita bernapas dengan menyadari aliran masuk dan keluarnya. Kita hidup dengan mengalami aliran cinta dan benci, kemarahan dan kemegertian, kekerasan dan kelembutan. Kita menyadari napas masuk dan keluar sebagaimana adanya. Kita mengenali cinta dan benci, kemarahan dan kemengetian, kekerasan dan kelembutan sebagaimana adanya.
Hanya dibutuhkan sedikit sentuhan untuk mengeluarkan enegeri negatif karat benci, amarah dan memasukkan atau menamam kembali energi yang positif, teratai cinta, kemengertian dan kelembutan untuk penyembuhan diri kita. Sejalan dengan itu kita pun akan bernapas secara mendalam, menghembuskan kembali energi positif teratai cinta, kemegertian dan kelembutan seraya menarik masuk energi negatif benci, kemarahan dan kekerasan yang ada di diluar untuk kesehatan segenap masyarakat.
Kita menyadari semuanya memiliki kesamaan kebutuhan dan penderitaan, semua sama-sama memiliki pemenuhan dan kebahagiaan. Di dalam menyentuh anak kecil dalam diri kita, anak kecil yang telah tumbuh dewasa dan menjadi orang tua, kita menyadari bahwa semuanya memang membutuhkan cinta dan cinta juga menyembuhkan semua. Loka pathambka metta, hanya cinta kasihlah yang menyembuhkan dunia! (Jo Priastana).

Posted in Refleksi | Leave a Comment »

THE GODDES OF MERCY PUTRI MIAO SHAN

Posted by yasodhara on February 10, 2009

IN THE NAME OF GUAN YIN

Kisah Welas Asih Bodhisattva Avalokitesvara

Di awal film The Goddes of Mercy, terdengar suara sebagai Hyang Buddha yang menyatakan Bodhisattva Avalokitesvara yang akan menitis ke dalam jasad perempuan di negeri Mi Chuang adalah bukanlah suatu persoalan. Disitu ditegaskan,  bukankah penderitaan perempuan itu lebih besar ketimbang lelaki.

Kemudian Sang Bodhisattva Avalokitesvara sendiri lalu menyatakan, biarkan Aku menjadi perempuan demi melepaskan penderitaan orang, dan menjadi teladan bagi kaum perempuan yang sama setaranya dengan kaum lelaki. Itulah penggalan dialog dan tayangan tentang Bodhisattva Avalokitesvara yang hadir  sebagai perempuan dalam sosok Dewi Guan Yin dan yang lebih dikonkritkan lagi dalam legenda China tentang Putri Miao Shan.

Adakah yang salah dan keliru, bila Bodhisattva Avalokitesvara yang merupakan cerminan konsep filsafat Mahayana tentang Sambhogakaya (satu dari Trikaya) atau ketubuhan Buddha yang tidak tampak, tubuh rahmat, tubuh cahaya yang memancarkan energik dan vitalitas kasih sayang terpersonifikasikan dalam wujud sosok  perempuan?

Sosok Feminim

Apakah sosok feminim atau perempuan kurang cinta kasih dan welas asihnya ketimbang sosok lelaki atau malah sebaliknya? Dalam legenda putri Mio San yang tumbuh menjadi keyakinan terhadap personifikasi Bodhisattva Avlokitesvara justru datang sebagai perempuan, padahal  kerajaan Mi Chuang saat itu membutuhkan seorang putra mahkota.

Kedatangannya ini memperlihatkan bahwa kelahiran seorang anak perempuan itu adalah setara dengan lelaki bahkan lelaki  sebagai putra mahkota kerajaan sekalipun.  Perwujudan  ini  mau menyatakan bahwa  cinta kasih, kasih sayang itu tidak mengenal batas-batas jender.

Namun, ditengah-tengah masih membatunya ideologi patriarki masa itu, kehadiran puteri Miao Shan sebagai puteri ke tiga kerajaan Miao Chang  yang berani dan bebas menentukan jalan hidupnya sendiri, tidak mau dijodohkan seperti kebanyakan perempuan pada umumnya masa itu, dan berani mengambil jalan kehidupan sebagai rahib-bhiksuni, justru dianggap sebagai guncangan terhadap tatanan budaya dan tradisi dengan ideologi patriarkinya yang memapankan kedudukan dan status lelaki.

Namun, apakah cinta kasih dan kasih sayang harus tersekat oleh jender, budaya dan tradisi?  Melampaui batas-batas jender, budaya, dan tradisi,  Bodhisattva Avalokitesvara hidup sebagai cerminan nilai welas asih dan kasih sayang yang suka membantu tanpa batas tanpa kenal lelah tanpa mogok dengan tangan seribunya. Dan doa.  Pujaan,  permohonan kepadanya pun tumbuh dan hidup di dalam setiap hati orang yang meyakininya.

Karena itu, hati siapa yang tidak tergetar bila menyebut nama Avalokitesvara? Bodhisattva yang diwujudkan dalam figur perempuan dan sangat popular dipuja umat Buddha di berbagai kebudayaan dan banyak negara seperti Cina, Korea, Jepang, dan negara2 Asia Tenggara juga di Indonesia  ini.

Guan Yin telah menginspirasi orang Asia karena menjelaskan peran pokok yang harus dilakukan yakni praktik ajaran Buddha tentang welas kasih. Kisahnya yang terpendam dalam pemahaman Bodhisattva Avalokitesvara  terekspresikan dalam  legenda, sejarah, puisi, filsafat, praktik keagamaan, dan gambar-gambar serta seni pahat yang bertebaran dimana-mana.

Adakah yang salah dengan pemujaan kepada welas asih ini di dalam nama Guan Yin, sebagai keluhuran Kebuddhaan yang mampu melihat dan mendengar tanpa batas, dalam kekosongan (sunyata) tanpa membeda-bedakan, dan menjadi dewi penolong semua makhluk dengan kasih sayangnya yang universal?

Melalui pemujaan terhadap Bodhisattva Avalokitesvara inilah, membuktikan agama Buddha dapat tumbuh subur dan berkembang di berbagai negara dan budaya. Melalui legenda negeri Cina,  Bodhisattva Avalokitesvara  dikenal juga sebagai Puteri Miao Shan, perwujudan dari The Goddes of Mercy, dewi welas asih, yang berwujud feminin dan memperlihatkan keluhuran agama Buddha yang berkata “ya” terhadap kesetaraan gender.

Dalam film The Goddes of Mercy, kita juga dapat saksikan ujar-ujar bijak nan cerdas yang mencerminkan keluhuran Buddhadharma sebagai ajaran kasih yang tanpa batas, kasih sayang melawan diskriminatif, kasih sayang yang satu adanya mengatasi segala dikotomi gender dan perbedaan yang ada. Bahwa pencerahan seseorang adalah juga karya pembebasan di dalam menolong makhluk lain yang menderita.

Kasih Sayang Tak Terbatas

Karenanya, sebagai perwujudan konsep Sambhogakaya (tubuh cahaya, tubuh rahmat), satu dari ajaran Trikaya (Tiga Tubuh Buddha) dalam Mahayana, prajna (kebijaksanaan pencerahan) dan karuna (welas asih dalam pembebasan) itu tiada saling terpisahkan. Pencerahan dan kasih sayang, pandangan terang dan pembebasan adalah  dimensi-dimensi luhur dari sunyata (kekosongan).

Dalam film The Goddes of Mercy yang mengisahkan satu dari sekian versi legendanya sebagai puteri Miao Shan, penjelmaan Bodhisattva Avalokitesvara di dunia, memperlihatkan keindahan dari kesempurnaan perwujudan prajna (kebijaksanaan, kecerdasan spiritual) dan karuna (kasih sayang, kecerdasan sosial), dan kesetaraan perempuan dengan lelaki di bidang spiritual.

Bagaimana puteri yang kelahirannya tidak diharapkan lantaran ia bukan seorang putra itu memberi pelajaran tentang kebijaksaan dan kasih sayang kepada para lelaki yang berlumur kekuasaaan dan kekuatan duniawi. Bahwa kasih sayang, perdamaian, sikap non-kekerasan adalah kekuatan dan puncak dari keberhasilan.

Melalui hasil pencerahannya sebagai Phusat (Bodhisattva) puteri simbol welas asih ini juga memberi pelajaran tentang hakekat kehidupan, makna penderitaan manusia serta peluang mencapai pencerahan dan pembebasan dari lorong penderitaan. Bahwa manusia dilahirkan dalam dunia yang penuh penderitaan.

Untuk itulah sudah menjadi tugas Bodhisattva Avalokitesvara untuk membebaskan derita manusia itu, karena dia memiliki karakter welas asih dan murah hati. Dengan melepaskan umat manusia dari segala kesusahan dan penderitaan, maka puteri Miao Shan ini sekaligus mencapai kekosongan pencerahan sejati.

Kesadaran kekosongan itu (sunyata) tanpa batas, tanpa keterikatan, dan semata ketenangan murni, bebas dari segala keterikatan duniawi atau dikotomi, dualisme: pikiran ini dan pikiran itu, ada dan tiada, abosolut dan manifestasi, tampak dan tak tampak, historis dan mistis. Perasaan mengombang-ambingkan ke dalam perbedaan, tiada pendirian karena tidak melihat hakekatnya yang terdalam.

Bila mata batin telah tercerahkan mengatasi dualisme, maka kelahiran baik sebagai raja dan rakyat itu sama saja, hari lalu hari esok adalah hari ini, bencana dan keberuntungan sama saja, langit di luar langit di dalam bersatu dalam hati yang damai, sebagaimana juga tak ada kebahagiaan tanpa adanya penderitaan.

Dalam nama Guan Yin yang selalu dipuja dan dihormati karena beliau tak henti melihat dan mendengar penderitaan banyak makhluk dalam kesunyataannya, kasih sayang itu mewujud tanpa batas tanpa bias! Om Mani Padme Hum!  (Jo Priastana).

Posted in Film | Leave a Comment »

CINTA DAN PEDANG ASOKA

Posted by yasodhara on February 10, 2009

Oleh Jo Priastana

Bintang Bollywood yang tenar dengan film Kucha-Kucha Ho Ta Hai, Sharukh Khan tampil dalam sebuah film roman sejarah, Asoka. Dalam film keluaran Arclights ini, Sharukh Khan yang memerankan Asoka tampil bersama bintang cantik jelita Kareena Kapoor yang berperan sebagai Kuurwakhi, perempuan yang sangat dicintai Asoka.

Film ini tidak berpretensi menjadi film sejarah yang menggambarkan riwayat hidup Raja Asoka dan melukiskan kebenaran sejarah. Film Santosh Sivan yang meski mengambarkan Asoka sejak kecil hingga akhir kekuasaannya ini lebih tepat dikatakan sebagai film roman percintaan yang berlatar belakang sejarah hidup (percintaan) Raja Asoka.

Kisah percintaannya dengan Kuurwakhi, putri Kalinga menjadi tema cerita, dipadu dengan sejarah Asoka, raja besar yang hidupnya sarat dengan peperangan dan berbagai pertempuran. Kuurwakhi adalah kakak dari pewaris takhta Kalinga, seorang anak kecil yang bernama Ariya. Ariya kecil ini sangat mengagumi Pawen (nama seekor kuda, nama yang juga dipergunakan Asoka dalam memperkenalkan dirinya).

Kisah cinta Asoka dan Kuurwakhi yang kandas oleh perpisahan dan tipu daya intrik kerajaan pada akhirnya dapat dipertemukan kembali namun di medan laga yang menghadapkan mereka satu sama lain sebagai satria yang saling berlawanan.

Di tengah-tengah kisah percintaan mereka terselip Devi yang secara tidak sengaja hadir dalam kehidupan Asoka, diperisteri Asoka. Perempuan dari kalangan beragama Buddha ini berani berhadapan dengan kebengisan Asoka yang timbul karena frustrasinya tidak mendapatkan Kuurwakhi.

Kehadiran Devi yang tidak disengaja dalam kehidupan Asoka inilah yang melahirkan putra-putri Asoka, yang akhirnya menjadi utusan-utusan dharma menyebarluaskan Buddhadharma.

Cinta dan Pedang

Film dibuka ketika Asoka kecil memohon kepada kakeknya Chandragupta Maurya, raja yang akan pergi ke prabon menjalani hidup sebagai pertapa. Asoka kecil memohon untuk diberikan kepadanya sebuah pedang pusaka.

Kakek Asoka itu tidak memberikannya seraya mengingatkan bahwa, pedangnya itu adalah bukan pedang biasa melainkan pedang durjana. Dikatakannya, bila pedang itu dikeluarkan dari sarungnya, maka ia akan meminta darah, tidak kenal lawan dan kawan, dan hanya darah saja.

Asoka kecil yang keras kepala itu tidak menghiraukan peringatan kakeknya. Ia memungut kembali pedang pusaka yang telah dilemparkan oleh kakeknya itu dari sela-sela batu sebuah sungai.

Sebagai putra dari seorang raja yang beristeri banyak, bersama pedang pusaka itu Asoka menjadi seorang yang jago perang. Ia menjadi panglima perang yang sangat ditakuti, apalagi ia juga kandidat pewaris takhta.

Sebagai panglima perang yang handal, banyak wilayah ditaklukkan diantaranya adalah Taxila. Sebagai pewaris takhta, Asoka juga tidak luput dari upaya pembunuhan terhadap dirinya oleh pesaingnya, seperti Sushima saudara tirinya yang sangt iri dan takut warisan takhta kerajaan jatuh ke tangan Asoka.

Pada dasarnya, Asoka sendiri bukanlah orang yang berambisi merebut takhta., meski kehandalannya dalam beperang mensyaratkan bahwa ia pantas sebagai raja. Ia bahkan mengabulkan permohonan ibunya untuk meninggalkan negerinya dan menjadi orang biasa agar terhindar perselisihan dengan saudara-saudaranya.

Ibunya tak menginginkan terjadinya perebutan takhta dengan Sushima. “Kamu tak mau anak kamu menaiki takhta. Aku lakukan semua ini untuk kamu,” ujar Asoka yang juga ingin menghindari konflik memperebutkan takhta Magadha dengan Sushima dan saudara-saudara tirinya yang lain. Asoka pun pergi meninggalkan Magadha.

Namun, nasib ternyata membawanya lain. Dalam perjalanan ke luar kerajaannya, ia bertemu dengan seorang pertapa yang meramalkan tentang nasib dirinya dan perjalanan hidupnya.

“Nasib kau adalah lebih baik dari sang raja.” Maksud, ramalan pertapa terhadap diri dan kehidupannya itu adalah bahwa Asoka akan menjadi seorang raja yang lebih baik dari raja biasa, bisa menjadi raja dari segala raja, raja besar serta mengalami drama kehidupan yang besar pula.

Di tengah pengembaraannya itulah ia berjumpa dengan Kuurwakhi, yang disebutnya sebagai satriani Kalinga, perempuan satria dan kerajaan Kalinga. Mereka kemudian saling jatuh cinta, dan film pun – sebagaimana film-film India pada umumnya berhias dengan lagu-lagu percintaaan India yang khas dan intip-intipan dari balik pohon.

Di tengah-tengah danau dengan curahan air terjun, diantara pepohonan dalam pemandangan alam India yang menawan, diantara lekukan tubuh Kareena Kapoor yang indah dan tatapan mata Sharuk Khan yang tajam, kedua sejoli itu berkasih dan saling berjanji. Namun keadaan harus memisahkan mereka berdua.

Sebelum berpisah, Asoka sempat mengajarkan Kuurwakhi ilmu pedang. “Jadikanlah pedangmu bagian dari tubuhmu, maka penantian dan ketakutan akan tiada lagi,” bisik Asoka, diantara pipi Kuurwakhi yang memerah dan senyum kepedihannnya.

Cinta yang mempertemukan mereka, dan cinta jua yang memisahkan mereka. Kelak pada akhirnya dengan cinta pula kedua negeri mereka yang saling bertempur bersatu kembali.

Setelah Sushima terbunuh, dan mengingat keadaan kerajaan yang membutuhkan orang kuat seperti dirinya, maka endapan ambisi besar Asoka yang selama ini tersimpan akhirnya tak terhankan lagi.

Endapan berkuasa itu meletus bagai magma gunung berapi yang memuncratkan laharnya dan menjdikannya haus kekusaan. Melalui pedang pusakanya yang berkelabatan kesana kemari, ia mengalahkan musuh-musuhnya dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lainnya. Dan nasib pun seakan membawanya memenuhi ramalan kekeknya, setiap pedang keluar dari sarungnya pasti meminta darah, maupun ramalan sang pertapa untuk menjadi raja besar.

Seakan memang suratan nasih telah menggariskannya menjadi seorang raja besar yang ditakui melalui peperangan yang selalu meminta darah dari setiap pedangngnya yang keluar dari sarungnya, Asoka pun menjadi raja besar dan mendapat julukan Asoka yang durjana. Asoka durjana karena telah membunuh kakak-kakaknya, serta menaklukkan lawan-lawannya dalam berbagai pertempuran.

“Aku akan menjadi raja yang teragung di bumi ini. Lebih agung dari raja Bidursana dan lebih kuat dari Chandragupta Maurya.” Demikian ikrar Asoka dihadapan isterinya, Devi.

Isterinya yang sabar, penuh cinta namun berani itu pun berkata; “Ini cinta jenis apa yang hidup walau sudah mati. Kuurwakhi saja yang ada di hatimu. Luka cinta tak akan biarkan kamu hidup atau mati.”

Devi sadar, ambisi dan kebengisan Asoka itu muncul lantaran cintanya tak kesampaian dengan Kuurwakhi, atau sebagai kompensasi kehilangan Kuurwakhi – pewaris takhta Kalinga- yang disangkanya telah tewas dalam intrik politik pejabat istana Kalinga

Musuh Diri Sendiri

Raja Asoka dinilai sungguh luar biasa kejamnya. Bahkan orang-orang menyangsikan apakah dia itu manusia atau setan, karena Asoka berani membunuh orang yang tidak bersalah, dan sanggup melakukan apa saja untuk memenangkan perang. Berita tentang Kuurwakhi yang telah tewas diangkatnya menjadi sumber kekuatan untuk kematian bagi orang-orang yang ada disekelilingnya, terutama lawan-lawannya.

Isteri dan saudara-saudaranya, bahkan Vitar pengawal setianya menolak dan menghindari Asoka. Bahkan isterinya tak menghendaki anaknya menjadi seperti ayahnya. “Saya harap bila anakku membuka matanya dia tengok kasih sayang saja dan bukan kematian. Perkataan pertama yang dia dengar mestilah sesuatu yang manis, dan bukan pekikan dan raungan kesakitan.”

Devi, isterinya yang penyabar dan penuh kasih sayang dan tahu dirinya tak mendapatkan cinta Asoka, akhirnya meniggalkannya. Tiada lagi teman dekat dan setia di samping Asoka.

Vitar yang sudah berusaha mengembalikan Asoka ke jalan yang benar juga tidak sanggup dan harus dengan berat hati meniggalkan Asoka. Sebelum pergi, kepada Raja Besar Asoka yang telah mata gelap itu, Vitar mengatakan: “ Kamu bukan kawan siapa-siapa.”

Sedangkan adik Asoka sendiri Vitasoka yang penyair mengatakan: “Kau adalah musuh dirimu sendiri. Karena itulah kau dipanggil “durjana” Asoka. Aku beritahu, bahwa kau sudah jadi seroang ayah. Mahendara adalah anak lelaki kamu, dan Sanghamitra adalah anak perempuanmu. Kamu hanya seorang raja, bukan seorang ayah.”

Tapi Asoka tetap bersikeras menganggap dirinya sebagai raja besar, yang besar karena peperangan dan penaklukkan. Cinta telah tidak ada lagi dalam kamus hidupnya sejak panglima Kuurwakhi yang jealous kepadanya memberi tahu bahwa Kuurwakhi telah tewas dalam intrik istana Kalinga.

Yang tersisa dalam diri Asoka adalah kebalikannya dari cintanya yang besar, yakni ambisi yang besar untuk menjadi raja besar, sebagai kompensasi cinta besarnya yang dianggapnya telah hilang dan telah tak kembali.

“Kebenaran tidak akan berubah jika menukar pendirian. Perang adalah kebenaran. Dalam perang menang atau mati. Dan aku telah menang,” demikian Asoka berkilah dihadapan adiknya, Vitasoka.

“Ya, memang kau telah menang. Memenangi tangisan bayi, anak yatim dan mayat. Kau telah menang semuanya,” ucap Devi sesaat sebelum meninggalkannya.

Begitu pula ketika Asoka bertemu kembali dengan Kuurwakhi, satriani Kalinga – yang ternyata masih hidup – namun dalam keadaan berhadapan satu sama lain di medan perang yang bau amis mayat, Kuurwakhi menyatakan. “Kau telah jatuh diatas kekayaan, kuda yang cantik dan kuat. Kau tidak menang. Aku tidak akan benarkan kau menang.”

Di antara temaram senja yang datang, di saat-saat matahari akan terbenam, dan denting suara mantram para bhiksu yang sedang menyucikan mayat-mayat korban pertempuran yang berserakan di medan lagi, serta di dalam dekapan cinta dan kerinduan terhadap Kuurwakhi, akhirnya Raja besar gagah berani yang telah menaklukkan ribuan musuh dalam berbagai medan laga itu pun merintih.

“Aku telah menjadi raja yang teragung. Pemerintah yang terkuat. Aku telah memenangi semuanya. Aku juga telah hancurkan semuanya. Apa yang seseorang raja boleh memenangi? Cuma kekayaan, tanah dan negara.

Nasib aku melebihi kemauan seorang raja. Nasib aku adalah seorang pengembara. Yang telah tamatkan destinasinya. Dan hari ini aku mutlakkan peneguhan perjalanan kasih sayang yang aman dan tenteram.” Kemudiaan Asoka pun melemparkan pedang pusakanya. (Jo Priastana).

***

RAJA DHARMA ASOKA

Asoka telah menjalani nasibnya sebagai raja besar melalui berbagai peperangan. Peperangan sebagai kompensasi cintanya yang tak terwujud terhadap seorang perempuan satria. Namun ketika cinta itu diketemukannya kembali, Raja itu kembali menjadi besar, bukan besar karena peperangan, tapi sebaliknya besar karena kasihnya.

Asoka telah belajar dari peperangan dan pertempuran yang dijalaninya, serta dari kekuatan cinta kasih. Bahwa kekerasan dan kekerasan adalah lantaran tak ada cinta dihati seseorang. Ketika cinta itu datang, maka kekerasan pun sirna. Memang semua membutuhkan cinta dan cinta pula yang menyembuhkan semua.

Daisakaku Ikeda dalam bukunya, “Buddhism, The First Millenium,” (1977), menilai Raja Asoka memainkan peranan menentukan dalam penyebaran Buddhisme yang penuh kasih sayang. Ia telah berubah dari penaklukkan melalui pedang, menjadi penyebar cinta kasih melalui Buddhadharma. Kerajaan Maurya yang diperintahnya meliputi seluruh India, masuk ke Sri Lanka dan negara-negara Yunani. Kabarnya pada masa Asoka ini banyak pula bhiksu-bhiksu India yang masuk ke Yunani.

Tidak jauh berbeda dengan Ikeda, sejarahwan dunia HG Wells menyatakan “salah seorang penguasa yang terbesar yang pernah dilihat dunia.” Asoka adalah raja pertama yang menghapuskan perang. Ia memberlakukan politik pasifisme (politik perdamaian) mutlak berdasarkan cita-cita Buddhisme dan mengadakan tindakan-tindakan tegas untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan warga negaranya.

Raja yang pernah menghancurkan kehidupan ini akhirnya menjadi raja yang mendorong kehidupann. Asoka yang beriman Buddhis ini meniadakan pembunuhan atas makhluk hidup dan mengambil kebijakan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Asoka menganjurkan untuk menanam pepohonan sepanjang jalan, menggali sumur-sumur dengan jarak- tertentu, mendirikan rumah-rumah istirahat bagi para musafir, serta membagikan jamu dan obat-obatan kepada warganya.

Raja Asoka naik takhta sekitar tahun 268 SM. Tujuh tahun setelah naik takhta, Asoka memeluk agama Buddha. Dalam tahun kesembilan pemerintahannya, ia menyerang Kalinga, membunuh sekitar seratus ribu orang. Setelah melihat penderitaan dan kematian dari perang tersebut, Asoka mengalami kesedihan yang mendalam. Maka, ia pun berikrar tidak akan berperang lagi.

Sebelum ikrarnya itu berkumandang, Asoka dikenal sebagai raja yang kejam. Sebelum naik takhta saja ia telah membunuh sembilann puluh sembilan kerabat pria, dan setelah penobatannya ia melenyapkan lima ratus pejabat tinggi. Sesudah serbuannya ke Kalinga, pemerintahannya yang berdasarkan kekuasaan kekuatan disingkirkannya dan diganti dengan peraturan berdasarkan dharma.

Sejak itulah sebutan kepada dirinya beralih dari sang raja terkenal sebagai “Asoka Durjana“ berarti menjadi “Asoka pendukung Dharma.”

Dinasti Maurya didirikan oleh Chandragupta, kakek Asoka. Pada tahun 327 SM Iskandar Agung menyerbu India, tetapi pasukannya dapat dipukul oleh Chandragupta. Bindusara, putra Chandagupta menggantikannya sebagai penguasa.

Bindusara termashur karena mempunyai enam belas isteri dan sebagai hasilnya adalah Asoka yang konon mempunyai 101 saudara. Setelah menjadi penganut Buddha, Asoka semakin percaya memiliki kemampuan memerintah melalui Dharma.

Pasifisme dan Toleransi

Sejarah akhirnya mencatat Asoka menjadi raja terbesar dalam seluruh jagad India. Karena itulah negara India sekarang telah memilih lambang untuk cap resmi: tonggak kepada bermahkota singa, yang diambil dari salah satu tonggak yang didirikan oleh Raja Asoka.

Asoka mengamalkan politik pasifisme mutlak, dan menganggap semua orang yang terdiri dari beragam suku-suku yang terdapat di India itu adalah putranya. Sebagai penganut Buddhisme yang bersemangat, ia tidak melakukan penindasaan terhadap golongan agama lainnya. Sebaliknya, ia meberi bantuan dan semangat yang positif bagi berbagai golongan itu. Sebagai kepala negara besar, Asoka mendasarkan tindakan-tindakannya pada jiwa cinta kasih Asoka menerjemahkan jiwa Buddhisme ke dalam kebijaksanaan pemerintahannya.

Namun dalam melaksanakannya, dia tidak mencoba memaksakan cita-cita Buddhisme kepada khlalayak ramai sebagai dogma agama yang harus dipeluk. Sebaliknya dia menyajikan cita-cita dharma, kebenaran atau jalan kebajikan yang dapat dipahami secara mudah melalui kenyataan manusiawi.

Konsep-konsep kunci Dharma sebagaimana diungkapkan dalam kebijaksanaannya merupakan cita-cita universal berupa pasifisme mutlak dan rasa hormat terhadap kehidupan. Sebuah cita-cita yang dapat diterima oleh orang-orang Buddhis maupun non-Buddhis.

Semasa pemerintahannya, Asoka mendirikan 84.000 ribu vihara dan 84.000 ribu stupa untuk menyucikan peninggalan-peninggalan Sang Buddha. Ia juga berziarah ke tempat-tempat suci Buddha. Selama pemerintahannya, untuk pertama kali Buddhisme menjadi salah satu di antara agama-agama nasional di India.

Asoka juga mengutus beberapa rombongan bhiksu Buddhis ke berbagai daerah, seperti putranya sendiri, pangeran Mahinda ke Sri Lanka, yang menjadikan menjadi negeri di sebelah selatan India itu menjadi sumber Buddhisme Theravada yang berperangaruh di Asia Tenggah.

Raja Asoka bertakhta secara keseluruhan sampai 37 tahun lamanya. Kabarnya ia juga menolak menyebut dirinya dengan gelar “Maharaja” atau “Kaisar,” dan sebaliknya lebih suka membayangkan diruinya sebagai “Raja Magadha.” Diantara berbagai tindakan politik pasifismenya itu, adalah sebuah stupa atau tonggak toleransi besar dunia. Sebuah tonggak yang sangat terasa relevansinya dalam kehidupan globalisasi saat ini yang sarat dengan peperangan.

Piagam toleransi yang juga disebut “Piagam Piyadassi” itu berbunyi:

“Dalam memberikan penghormatan kepada agamanya sendiri, janganlah sekali-kali mencemohkan atau menghina agama-agama lainnya. Dengan berbuat demikian selain membuat agamanya sendiri berkembang, juga akan memberikan bantuan kepada agama-agama lainnya. Jika berbuat kebalikannya, maka berarti menggali lubang kubur untuk agamanya sendiri disamping mencelakakan agama lain. Barang siapa menghormati agamanya sendiri, tetapi menghina agama lainnya dengan berpikir bahwa berbuat demikian adalah telah melakukan sesuatu yang baik sebagai pemeluk agama yang taat, maka ini malah akan berakibat sebaliknya, yaitu akan memukul kepada agamanya sendiri.” (Jo Priastana).

***

Posted in Film | Leave a Comment »

ANGULIMALA

Posted by yasodhara on February 10, 2009

KETIKA SEORANG ANAK

TIDAK DIHARAPKAN KEHADIRANNYA

Film yang mengisahkan salah satu kejayaan Sang Buddha dalam mengajarkan Dhamma dalam hal ini penaklukkan seorang yang memiliki kekuatan luar biasa dalam menerapkan ideology keliru yang diyakininya, Angulimala Sang Pembunuh. Belajar dari kisah hidup Angulimala, sebuah kisah nyata semasa hidup Sang Buddha adalah suatu pembelajaran tentang suatu jalan hidup yang kerap terjadi pada banyak orang mengenai anggapan tentang kebenaran akan segala sesuatu yang dijalaninya.

Riwayat hidup Angulimala sesungguhnya adalah cermin dari perjalanan hidup seorang yang mencari kebenaran namun berada di tempat dan lingkungan yang tidak tepat. Kelahirannya yang merupakan suatu berkah nanum terasa mendapat beban kutukan kegelapan, kejahatan tumbuh bagi kejahatan selanjutnya. Angulima adalah anak yang lahir yang tidak diharapkan oleh orang tuanya, bahkan ayahnya bertindak untuk mengenyahkannya, namun raja yang baik berhasil menyelamatkan dan membuangnya.

Ideologi

Dari awal ini saja, secara psikologis kita akan bertanya, bagaimanakah pertumbuhan kejiwaan seoraang anak yang sejak lahirnya merasa tertolak tidak dibutuhkan dan tidak diharapkan hadir ke dunia? Sebuah pertanyaan pembelajaran yang sangat baik dan penting bagi para calon orang tua yang akan mempersembahkan buah-buah nafsu atau cinta kasihnya dalam wujud manusia, mengingat betapa luar biasanya fenomena penelantaran janin-janin dalam kehidupan dewasa ini.

Angulimala muda, sebagaimana juga manusia dan para pemuda lainnya, adalah sosok manusia yang haus akan kebenaran, pengetahuan tentang kehidupan, kebijakan dharma. Apalagi tradisi dan budaya India pada masa itu dimana paham tentang samsara yangt menyertai kehidupan ini memang begitu kental dan tertanam dalam setiap penduduknya, diantara tumbuhnya jalan kelamatan berupa pandangan-pandangan ekstrim, seperti jalan kekerasan atau jalan kemanjaan, asketisme ekstrim, ritualisme ataupun materialisme hedonisme.

Siapa yang tidak mau lepas dari samsara, jantera hidup menderita lahir berulang? Siapa yang tidak mau menemukan kebijakan Dharma? Semuanya pasti akan mencarinya, menemukan air kehidupan keabadian, termasuk Angulimala yang belajar dan berguru ke Taxila, sebuah pusat rujukan yang menyediakan ragam ideology surga bagi pencahari kebenaran pada masa itu.

Tapi, kenapa Angulimala ditakdirkan atau menjalani beban karma buruk terlibat dalam pembunuhan, dari pembunuhan satu ke pembunuhan berikutnya. Adakah suatu pandangan hidup atau keyakinan kebenaran itu jauh mengatasi rasa kemanusiaan dan belas kasihan?

Pembunuh

Merasuk ke dalam suatu ideology dan menjadikan ideology itu tumbuh keras dalam diri apalagi bersentuhan dengan naluri-naluri negatif yang latent bersemayam serta pengalaman hidup yang ditemuinya, maka muncullah Angulimala menjadi sosok pembunuh yang luar biasa, pembunuhan satu demi satu diatas dasar kebenaran keyakinannya. Apakah fenomena ini juga kerap tidak dijumpai dalam kehidupan sekarang ini, atau juga dalam kehidupan kita sendiri, bersemayam dalam diri kita sendiri menunggu kesempatan dan sentuhan untuk tumbuh?

Ada sisi kemanusiaan, kasih sayang dan cinta kasih sejak Angulimala kecil Angulimala sang penggembala kambing yang tidak mau terjadi pembantaian atas kambing-kambingnya. Namun memperoleh guru dan lingkungan yang keliru yang nyatanya dapat menjadikannya dia sosok yang lain, melahirkannya sebagai pembunuh yang haus akan darah, dan diprogram menjadi pembunuh dan menyelami hakekat sejati penjahat.

Gurunya berkata: “Ingat selalu kalau semua penjahat dapat menyakiti siapa pun juga, siapa saja termasuk orang tua sekalipun.” Dan Angulimala sang pencahari kebenaran itu pun terhipnotis kata-kata gurunya ini. Jadilah dia sang pembunuh, pembunuhan diatas pembunuhan, satu demi satu jari-jari mangsanya menghias jenjang lehernya, hingga akhirnya setelah mencapai 999 jari hanya ada satu yang tersisa ibunya sendiri.

Ketika tasbihnya yang mengalungi jenjang lehernya yang terangkai dari jari-jari korbannya sudah tidak cukup lagi menampugnya, Angulimala yang berarti tasbih yang terbuat dari jari-jari tangan manusia, mulai meragukan ideology yang diyakininya yang melandasi tindakannya selama ini bahwa membunuh dan melakukan kekerasan adalah jalan untuk pembebasan makhluk sebagaimana yang mungkin juga menjadi ideology para teroris masa kini, maka ketika benih kemanusiaan, benih kebenaran sejati itu menyelusup naik ke permukaan batin, sang pembebas yang sesungguhnya pun datang.

Berhenti

Ketika batin murid telah siap guru pun pasti datang, ketika benih-benih kebuddhaan itu tumbuh semarak, maka hanya diperlukan sentuhan perlahan untuk memunculkannya tumbuh mekar memberi harum. Maka ketika mengejar Sang Buddha yang tak terkejar-kejar, Sang pembunuh ini pun berujar: “Bhante berhentilah, berhenti,” Sang Buddha menjawab, “Aku sudah berhenti Angulimala, kamulah yang harus berhenti sekarang.”

Melalui sedikit diskusi mengenai pembebasan, ketidakkekalan, ketanpaintian, ketidakmelekatan, pikiran suci yang tidak kekal, sang pembunuh yang selama ini merasa sang pembebas penderitaan bagi korban-korbannya itu akhirnya sungguh-sungguh berhenti. Anak yang kelahirannya ditolak itu, yang merasa dilahirkan untuk penderitaan, akhirnya menyelami makna penderitaan yang sesungguhnya.

Angulimala menyadari bahwa semua hal adalah tapa aku, tak ada garis perbedaan antara kau dan aku, bagai air hujan yang jatuh dari langit yang sama dan mengalir ke kubangan yang sama. Dalam Dhamma Sang Bhagava menuntun kita kedalam kebenaran sejati, melepaskan diri dari keegoan dan pandangan salah, dan hanya dengan pencerahan seseorang dapat hidup tanpa penderitaan mengalami nibbana, dan sekarang semua harus berhenti. (Jo Priastana).

Film: Angulimala

Pemain: Nopachai Jayanama, Stella Malucchi, John Rattana Veroj

Produksi: Film Bangkok Presents A Chalermthai Studio

Sutradara: Sutape Tumirut

Posted in Film | Leave a Comment »

THE LIFE OF BUDDHA

Posted by yasodhara on February 10, 2009

DIA YANG TELAH BANGKIT

DAN HADIR DI DUNIA

Film The Life of Buddha, menjajikan tentang Kisah Hidup Buddha dengan segenap beragam peristiwanya yang merupakan kisah tokoh terbesar sepanjang masa. Sang Buddha sosok pencahari kebenaran yang berhasil mencapai cita-citanya, 2552 tahun lalu di India.

Namun begitu tetap saja ada keraguan terhadap keberadaan Buddha secara historis ini. Apakah sosok Buddha itu sendiri sungguh ada, hadir di dunia dan hidup di-tengah-tengan manusia secara historis. Dikatakan bahwa sejak 100 tahun lalu saja kehidupan Buddha masih belum dikenal di dunia Barat.

Bahkan, E. Snart (1875) misalnya menyatakan bahwa kisah Buddha Gautama sebenarnya adalah suatu mite atas matahari, dan pada kisah Buddha Gautama itu tiada suatu pun yang secara histories benar-benar ada, Buddha sebenarnya tidak pernah ada. (Harun Hadiwijono, “Agama Hindu dan Buddha,” 1971).

Meski begitu, tampaknya, hanya segelintir ahli saja yang meragukan keberadaannya. Pada umumnya banyak para ahli lainnya berpendapat lain. H.Oldenberg (1881) dan H. Kern, diantarnya menegaskan bahwa keberadaan Buddha memang sungguh dan pernah ada secara historis, hadir di dunia.

Nah, film The Life of Buddha produksi BBC ini seakan keluar dalam rangka memastikan keberadaan Buddha secara historis itu dengan mengetengahkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang dihasilkan dari sejumlah penelitian arkeologis. Film berdurasi sekitar satu jam inipun berputar meneguhkan keberadaan Buddha yang memang nyatanya sungguh-sungguh pernah hadir dan hidup di dunia ini.

Historis-Arkeologis

Di tanah kelahirannya sendiri, India yang pernah mengalami penjajahan Inggris agama Buddha memang nyaris mati karena dihancurkan oleh raja-raja yang datang silih berganti. Baru setelah para arkeologis Inggris mulai menjelajah India Utara dan penemuan mereka yang menyatakan Buddha memang ada sebagai fakta sejarah, penelitian dan kemunculan Buddhadharma di tahun-tahun berikutnya semakin menggema.

Pada tahun 1860 para arkeolog mulai mencoba dan mengidentifikasi tempat-tempat yang berkaitan dengan Buddha, dan di tahun 1890 bersamaan dengan identifikasi di area sungai Gangga, terjadi penemuan situs Lumbini, tempat kelahiran Siddharta, dan kota Kapilavastu tempat Siddharta menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya.

Selanjutnya dipaparkan sejumalh fakta yang semakin memastikan keberadaanya, seperti penemuan sebuah pilar di suatu desa terpencil di perbatasan Nepal yang menyingkap kisah asal Buddha, yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai ekspedisi Inggris untuk menyingkap kandungan prasasati yang bertuliskan aksara purba dan berdiale India Utara.

Prasasti itu menyingkap bahwa disinilah Buddha telah lahir, dan sekaligus menjadi bukti pertama yang menegaskan bahwa Buddha adalah bukan tokoh legenda namun sungguh-sungguh benar-benar ada secara histories dan hadir di dunia, hidup di tengah-tengah manusia, lahir, hidup dan mati bagai manusia lainnya.

Buddha sungguh benar-benar ada. Teks Buddha kuno menamai tempat kelahiran Buddha sebagai Lumbini. Selanjutya penelitian arkeologis itu juga menemukan kota purba yang dalam teks disebut Kapilavastu tempat masa kanak-kanak Buddha, yang terletak 10-15 km sebelah Barat Lumbini. Di sanalah pencarian mulai ditingkatkan.

Ekspedisi menyingkap dua kemungkinan situs Kapilavastu. satu di India dan lainnya di Nepal. Selama 100 tahun arkeolog berdebat soal itu. Pencarian terbaru Dr. Coningham dan timnya menunjukkan kota purba itu terletak di kota Tilaurakot di Nepal, sebuah tempat yang amat menarik karena masih sangat utuh, dimana di tengahnya terdapat istana.

Di sinilah kisah Buddha dimulai, dan film pun memaparkan kisah hidup Buddha lengkap dengan diskusi pencapaian kebuddhaannya dan komentar-komentar sejumlah ahli maupun para Bhikhu, diantaranya His Holliness Dalai Lama.

The Buddha

Meski hanya sebuah film yang merupakan bayang-bayang menyajikan rentetan gambar, film ini menyajikan keterangan yang bersumber pada penelitian arekologis yang pernah dilakukan terhadap keberadaan Buddha. Namun begitu, film The Life Buddha sendiri tidaklah jatuh hanya menjadi sebuah film apologis tentang keberadaan Buddha secara historis, tetapi juga kaya dengan pemaparan kandungan spiritual- filosofis dan kebijaksanaan Buddhadharma itu sendiri.

Selain itu gambaran Siddharta Muda itu sendiri sebagai sosok pencahari kebenaran lengkap dengan semangat perjuangannya, renungannya dan diskusi teknik-teknik pencapaian cita-citanya dalam meditasi sungguh menarik dan mencerdaskan. Pemaparan yang kisah Buddha secara filmis itu mengajak kita untuk sungguh-sungguh menikmati serta hanyut dalam kisah Sang Penemu Kebenaran itu sendiri dan bahkan menjadikan kita merasakan sebagai pencahari kebenaran dengan tanpa beban dogmatis.

Film pun berkisah tentang the real life of Buddha, bahwa Buddha itu memang sungguh real, ada dalam sejarah, hadir di dunia, sebagai pangeran, pertapa dan kemudian menjadi Buddha, sebagaimana yang tertera dalam banyak buku sejarah tentang Buddha.

Dia menjadi Buddha, atau orang yang telah bangkit yang diperoleh di bawah pohon Bodhi 2552 tahun lalu. Lalu ia pun menyimpulkan hikmahnya dalam 4 kebenaran agung, yang merupakan fondasi bagi keyakinan agama Buddha.

Ada kesengsaraan dalam hidup. Dia mendiagnosa penyebabnya yaitu keinginan. Seperti dokter Buddha menyatakan bahwa ada kesembuhan bagi keinginan, dan keempat ia memberi resepnya, bagaimana menyembuhkan penyakit dan mencapai nirvana. Tujuannya adalah mencapai keadaan pikiran yang bebas dari keinginan, ketidakpedulian, kerakusan, kebencian dan khayalan, nirvana yang diimpikan dan diidamkan umat manusia.

Moralitas, meditasi, dan kebijaksanaann adalah jalan-jalan yang diterakan yang dapat dianggap sebagai batu loncatan untuk pencerahan, untuk terbebas, bebas dari ruang dan waktu dan tidak kembali lahir lagi. Setelah pencapaian Buddha-nya, ia persembahkan hidupnya membantu orang lain untuk ikut dalam jejaknya menuju kebebasan dari penderitaan. Dan begitu pengikutnya bertambah ia pun mendirikan Sangha, komunitas pejalan kesucian yang terbuka bagi segala kalangan dan kasta, serta mencerminkan kesetaraan gender karena terbuka tidak hanya untuk lelaki namun juga perempuan.

Para rahib ini dalam sejarah perjalanan Buddhadharma selama 2552 tahun telah menjadi perpustakaan hidup bagi ajaran Buddha yang mempraktekkan ajaran-ajarannya. Salah satu siswanya yang terkemuka saat ini, Hiss Holliness Dalai Lama dalam film The Life of Buddha produksi BBC ini, juga turut memberi komentarnya tentang Buddha, bahwa Buddha adalah symbol perdamaian, symbol kebaikan, dan symbol non-kekerasan.

Telah 2552 tahun Buddha yang maha sempurna berlalu. Beliau melabuhkan jasadnya yang tidak kekal di Kusininara, diantara dua pohon Sala kembar. Apakah tokoh sempurna ini, tokoh superman ini juga akan dikenang sebagai manusia untuk menambah kekuatan pada pesan-pesannya. Jawabnya, bisa jadi Buddha pun ingin diingat sebagai manusia.

Mengapa? Karena dengan begitu menjadikan dia begitu dekat, begitu akrab, terus hadir di dunia ini, di hati kita. Seperti rupangnya yang menghias altar di rumah kita semua, dia selalu memancarkan senyum kedamaiannya yang senantiasa merekah di bibir kita semua. Buddha memang begitu dekat, bagai api dengan lilinnya, dia api yang bernyala dalam lilin tubuh kita! (Jo Priastana).

Judul Film: The Life Of Buddha

Narrator: Ali Ballantyne

Pemain: Rahul Kishore Tiwari (The Buddha),

Denzil Smith (King Suddhodana)

Location Fasilities Creative Options, Mumbai,

Designer: Rashid Rangrez

Ist Assistant Director: Shaan Khattau

Line Producer: Yashin Jain

Camera: Steve Robinson

Edited By: Gregers Sall

Associate Producer: Toby Follet

Executive Producer: Tessa Livingstone

Directed by: Clive Maltby

A BBC/Discovery Channel Co-Production

BBC MM III

***

Posted in Film | Leave a Comment »

BUDDHADHARMA DAN PERANG

Posted by yasodhara on February 10, 2009

Oleh Jo Priastana

Di penghujung tahun 2008, Palestina kembali bergolak. Serangan Israel dengan persenjataannya canggihnya menggempur pejuang Hamas di daerah jalur Gaza Palestina telah menimbulkan banyak korban pada masyarakat sipil. Dikabarkan lebih dari 800 orang ratus tewas dan ribuan luka-luka termasuk diantaranya kanak-kanak dan warga tak bersakah.

Palestina dikenal dalam sejarah sebagai tanah suci yang tak sepi dari peperangan, khususnya peperangan antara negara-negara Arab dan Israel. Seperti perang yang cukup besar di tahun 1948 yang oleh Israel disebut sebagai perang kemerdekaan, dan bagi Arab serta Palestina sebagai awal perang penjajahan. Seterusnysa terjadi perang besar kembali di tahun 1967.

Jauh sebelum 1948, Tanah Palestina sendiri sudah menjadi ajang peperangan, seperti Perang Salib untuk memperoleh Tanah Suci dengan Jerusalemnya, yang pengaruhnya, menurut ahli sejarah agama Karen Armstrong masih terasa hingga kini.

Meskipun manusia selalu mendambakan perdamaian, namun perang tampaknya tak pernah lepas sepanjang sejarah kehidupannya di atas bumi ini. Sejarah mencatat ribuan para pahlawan peperangan yang dipelajari anak-anak sekolah. Apakah peperangan memang tidak bisa dihindari dalam sejarah kehidupan manusia?

Apakah pahlawan orang yang melakukan pahala kebajikan yang dipelajari anak-anak sekolah itu itu harus muncul dari medan perang? Apakah memang dunia harus dihias dengan peperangan? Apakah perdamaian yang menjadi dambaan manusia hanya dapat tercipta karena melalui peperangan? Apakah memang bila mau menciptakan perdamaian, orang harus bersiap untuk peperangan?

Ironis, kalau memang jalan peperangan yang harus ditempuh untuk sebuah perdamaian? Bukankan politik kekerasan yang diwujudkan dalam perang tetap saja menimbulkan konflik yang tak berkesudahan dan memakan banyak korban, sebagaimana ribuah nyawa telah melayang sepanjang sejarah Palestina dan Israel serta jutaan manusia menjadi korban menghias sejarah bangsa-bangsa di dunia.

Politik Yang Beradab

Haruskah kekerasan dan konflik itu tak ada akhirnya? Meski hal ini menyangkut kehidupan bersama, bangsa dan negara, namun apakah kita tidak bisa belajar tentang selesainya konflik dalam diri, tumbuhnya cinta kasih dan perdamaian, serta kehidupan luhur sebagaimana yang tercermin dalam diri Sang Buddha dan Dharmanya.

Sang Buddha yang telah mencapai kemenangan sebagai seorang manusia dengan menaklukkan kepentingan dirinya sendiri, dan bahkan dalam biografi kehidupannya telah diawali dengan penolakan terhadap takhta kekuasaan. Sang Buddha dan Buddhadharma senantiasa mengingatkan akan kedamaian dan tindakan tanpa kekerasan, baik terhadap yang lain dan terlebih lagi adalah di dalam menaklukkan diri sendiri.

Dalam konteks sosial-politik memang itu bukan sesuatu yang mudah, tidak semudah kaum beragama mengucapkan dan menganjurkannya saja. Tetapi sebagai suatu aspirasi dan cita-cita yang terpancar dari kedalaman lubuk hati setiap manusia, maka tindakan perdamaian, tanpa-kekerasan, menghindari peperangan juga bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak mungkin.

Dalam perspektif agama, khususnya agama Buddha, ajarannya yang menekankan agar setiap manusia dapat memajukan kualitas kehidupan spiritualnya, juga berlaku dalam tataran kehidupan politik, yakni tingginya kualitas kehidupan antar negara, kehidupan yang tidak melibatkan dan tidak diberlakukannya kekerasan dalam menyelesaikan segala macam masalah yang berkenan dengan konflik.

Dimensi ketinggian peradaban yang mencerminkan keluhuran spiritual manusia, juga harus menjiwai lapangan politik. Demikianlah yang diserukan oleh Buddha dalam kesuyataan Dharmanya, dan dengan begitulah baru bisa dikatakan bahwa politik itu maju dan beradab. Politik yang maju dan beradab seperti itu adalah politik yang “tanpa membunuh, tanpa melukai, tanpa menjajah, tanpa membuat sedih, dan mengikuti Dhamma atau ajaran kebenaran” (Samyutta Nikaya).

Kekerasan Bukan Segalanya

Memang bila melihat aspek politik di dalam sejarah perkembangan Buddha dharma, maka akan diketemukan raja besar yang bernama Asoka (abad k3 SM). Raja ini menjalankan ajaran tanpa kekerasan, dengan cinta dan perdamaian.

Semua itu dilakukannya termasuk menyangkut urusan dalam negaranya yang amat luas dan besar Tindakan raja yang besar ini merupakan sesuatu yang tampaknya diluar pola pikir kebanyakan orang, para politikus atau pemimpin negara yang saat ini masih tetap saja bersikeras harus menggunakan kekerasan.

Bagi Asoka tindakan kekerasan bukanlah segalanya atau senjata akhirnya, sekalipun mungkin tindakan itu dapat memenangkannya. Tindakan yang menjauhkan kekerasan atau peperangan menjadi kerangka pola pikir Buddhis, dan merupakan cermin dari berjalan seiringnya antara cita-cita beragama dengan cita-cita berpolitik.

Politik tanpa kekerasan ini bukanklah sesuatu yang tidak mungkin sebagaimana yang telah diperlihatkan Asoka, seorang penganut Buddha yang mempraktekkan Buddhadharma dan sekaligus mampu menciptakan suatu negara yang makmur, dan memelopori sikap tanpa kekerasan serta toleransi kehidupan beragama.

Dalam sejarah umat manusia, Asoka adalah satu-satunya seorang raja besar, seorang penakluk yang pada puncak kejayaannya masih mempunyai kesempatan dan kekuatan untuk meneruskan penaklukkannya, namun dengan secara sadar ia mengalihkannya. Sikap Raja Asoka ini mungkin bisa menjadi cermin atau teladan bagi para penguasa, pemimpin negara dewasa ini.

Daripada menggunakan kekerasan dan ancaman perang untuk menegakkan hegemoni dan egonya, lebih baik berdiplomasi dengan bahasa perdamaian dan sungguh-sungguh merasakan bahwa hidup adalah saling bergantungan dan saling berdampingan yang akan mahal taruhannya bila harus berperang dengan menggunakan kekerasan, sebagaimana yang terjadi di Palestina akhir-akhir ini yang telah menelan banyak korban, penderitaan dari kedua belah pihak.

Bukan Cuma Perang

Suatu bangsa dan negara memiliki pemimpinnya. Para peminpin sangat berperan besar dalam menentukan kehidupan suatu bangsa dan negara, termasuk juga dalam menentukan penggunakaan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah seperti dengan menyelenggarakan peperangan.

Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki visi, dapat membawa dan membimbing rakyatnya kepada visi dan tujuan yang diperjuangkannya. Dan untuk itu, sudah sepantasnya bila lebih dahulu telah sanggup untuk mengubah diri dan hidupnya demi kepentingan orang lain.

“Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik.” (Anguttara Nikaya, Digha Nikaya III). Begitu pula berlaku ujar, “Tidak mungkin seorang yang terperosok dalam lumpur dapat menarik orang lain keluar dari lumpur. Hanya seorang yang telah bebas dari lumpur dapat menolong orang lain.” (Majjhima Nikaya).

Menyangkut kekerasan yang mungkin dipergunakan oleh pemimpin dalam mencapai tujuannya seperti dalam perang misalnya, maka menurut Buddhadharma tak ada yang dinamakan “cuma perang“ yang merupakan istilah keliru yang diciptakan untuk membenarkan dan membolehkan terjadinya kebencian, kekejaman, kekerasan, dan pembunuhan.

Siapa yang memutuskan bahwa sesuatu itu benar dan tidak benar? Sehingga peperangan atau kekerasan itu dapat memperoleh alasannya, dimana yang kuat dan yang menanglah yang “benar” dan yang lemah dan yang kalahlah yang “tidak benar”. Dalam perang atau mempergunakan kekerasan terkandung anggapan kitalah yang selalu “benar” dan kamulah yang selalu “tidak benar.” Buddhadharma tidak menerima hal seperti ini. (Dr. Buddhadhasa P. Kirtisinghe, 1987).

Sang Buddha selalu tidak membenarkan terjadinya pemakaian kekerasan atau peperangan. Ketika Vidudhaba, putra Raja Pasenadi dari Kosala menyerbu Kapilavasthu dengan empat divisi prajurit, ia melewati Sang Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon yang sudah layu.

Ketika melihat Sang Buddha, Vidudhaba bertanya kepada Sang Putra Sakya itu, “Mengapa anda duduk di bawah pohon yang sudah layu ini, sedangkan ada banyak pohon yang tumbuh penuh dengan dedaunan dan banyak cabangnya?” Sang Buddha menjawab: “Naungan rasa persaudaraan lebih mulia daripada naungan rasa permusuhan.”

Begitu pula dengan Ajatasattu. Ketika Raja Ajatasattu, putra Bimbisara dari Magadha ini, hendak menyerang Vajjis, negara tetangganya, ia meminta saran terlebih dahulu kepada Sang Buddha lewat pendeta Vassakara.

Kemudian Sang Buddha mengingatkannya untuk tidak mengobarkan peperangan, tidak mempergunakan kekerasan, melainkan sebaliknya yakni menjalankan politik tanpa kekerasan yakni dengan menekankan untuk bermusyawarah dan mematuhi semua ketentuan perdamaian yang telah diberlakukan. (Maha Paninibbana Sutta). ***

Posted in Wacana | 1 Comment »

PAGODA SHWEDAGON DI MYANMAR

Posted by yasodhara on February 8, 2009

IDENTITAS RELIGIUS DAN SIMBOL PERJUANGAN RAKYAT

Perjuangan kemerdekaan dan pembebasan rakyat Myanmar tampaknya tidak bisa dipisahkan dari keberadaaan pagoda Shwedagon yang menjadi identitas religius dan nasional rakyat Myanmar. Tidak hanya tercermin dalam gerakan damai yang dilakukan para Bhiksu Myanmar pada September 2007 lalu, lebih jauh keberadaan Pagoda Shwedagon sebagai sebagai simbol dan arena perjuangan rakyat Myanmar itu juga telah tertanam dan berakar dalam di dalam sejarah perjuangan rakyat negeri seribu pagoda itu.

Pagoda Shwedagon yang merupakan landmark kota Yangon dan negara Myanmar dan dalam lafal Burma berbunyi hrwe ti. gum. bhu. ra:; ini memiliki tinggi 98-meter (sekitar 321.5 feet) dan merupakan bangunan stupa yang terdapat di Yangon, Myanmar, tepatnya di sebelah barat danau Kandawgyi diatas bukit Singuttara. Bangunan yang menjulang tinggi dan tampak menghiasi langit kota Yangon dengan indahnya ini kabarnya menyimpan relik Buddha masa lalu, seperti Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa dan delapan helai rambut Buddha Gautama .

Legenda dan Sejarah

Legenda menceritakan, bahwa Pagoda ini telah dibangun sejak 2500 tahun yang lalu, yang bermula ketika Tapussan dan Bhallika bertemu Sang Buddha dan kemudian menerima delapan helai rambut Sang Buddha untuk disemayamkan di Burma, nama negeri Myanmar sebelumnya. Dua saudagar bersaudara yang datang dari India itu dengan bantuan Raja Ukkalapa menemukan Bukit Singuttara untuk menyimpan relik Sang Buddha Gautam dalam bangunan yang kemudian didirikan yakni pagoda Shwedagon yang bercahayakan emas.

Lepas dari legenda yang dipercayai oleh rakyat Burma, para arkeolog memperkirakan bangunan stupa itu didirikan pada sekitar abad 6 sampai 10 oleh kerajaan Mon. Bangunan ini pernah mengalami keruntuhan pada tahun 1300, namun ketika Raja Mon Binya U Bago berkuasa, pagoda yang berbentuk stupa tersebut dibangun kembali dengan tinggi 18 meter (60 kaki). Kerajaan Mon sendiri memiliki dua pagoda suci, yaitu Shemawdaw di Bago dan pagoda Shwedagon yang dibangun bertahap melalui kurun waktu hingga mencapai ketinggian 98 meter (320 kaki) pada abad 15. Pada awal abad ke 16 pagoda Shwedagon menjadisangat terkenal dan banyak orang dari segenap pelosok dunia datang mengunjungi Burma.

Adanya beberapa gempa bumi yang terjadi turut mendatangkan kerusakan pada pagoda Shwedagon. Kerusakan yang sangat parah dialami pada bencana gempa bumi di tahun 1768 yang meruntuhkan puncak stupa. Namun tak lama kemudian segera diadakan pembangunan kembali oleh raja Hsinbyushin dari dinasti Konbaung. Sebuah hti atau mahkota didonasikan oleh Raja Mindon Min pada tahun 1871, setelah beberapa daerah di Burma dianeksasi Inggris. Selanjutnya gempa bumi yang cukup kuat di tahun 1970 juga sempat mendorong tiang mahkota dan cukup mengaburkan pandangan kearah puncak stupa.

Bila hendak masuk dan menunju ke puncak Stupa, ada empat pintu masuk menuju Paya, yaitu suatu tempat yang akan membawa seseorang ke atas bukit Singuttara. Menyaksikan ke atas, maka akan tampaklah cahaya keamasan yang terpancar dari puncak stupa pagoda Shwedagon yang memang terbuat dari lempengan emas. Logam mulia itu merupakan hasil dari sumbangan rakyat Myanmar maupun dari para raja di sepanjang sejarah pembuatannya, seperti Ratu Mon Shin Sawbu di abad 15 yang memberikan simpanan emasnya.

Pagoda yang merupakan tempat suci menyimpan relik para Buddha ini merupakan juga tempat yang diyakini dan dijadikan rujukan bagi rakyat dalam menentukan bintang keberuntungannya dari hari kelahirannya melalui oleh nama-nama binatang. Nama-nama binatang itu adalah: garuda (galon) untuk hari minggu, harimau untuk senin, singa untuk hari selasa, gajah untuk hari rabu, tikus untuk hari kamis, babi untuk jum’at, dan naga untuk hari sabtu. Setiap bintang kehidupan seseorang berupa nama binatang ini memiliki citra Buddhanya masing-masing yang selalu dipuja seperti melalui persembahan bunga, air dan lainnya melalui iringin doa, dan harapannya.

Pagoda Perjuangan

Mereka yang akan melakukan puja di pagoda emas itu pastilah tanpa alas kaki, dan para pengunjung yang hendak memasuki pagoda diminta melepaskan sepatunya. Dalam sepanjang sejarah, dan sejak kedatangan bangsa Inggris, melepaskan sepatu merupakan isu senditif yang bisa menjadi pemicu unjuk rasa dan pemberontakan. Banyak kejadian yang dialami pagoda Shwedagon selama penjajahan Inggeris dan sebanyak itu pula pagoda ini menyimpan kenangan peristiwa heroik bangsa Burma.

Dua abad setelah Inggris mendarat pada 11 Mei 1824 berlangsung perang yang dikenal sebagai perang pertama bangsa Burma dengan Inggris. Semasa perang itu Inggris sangat tertarik dengan pagoda itu dan menjadikan Pagoda Shwedagon itu sebagai sebuah benteng pertahanan dan pusat komando untuk memantau seluruh kota, dan ketika mereka meninggalkannya dua tahun kemudian stupa itu pun dibiarkan terlantar begitu saja.

Penjarahan, vandalisme dan upaya pencurian juga tidak luput terhadap benda-benda berharga yang ada di dalam pagoda tersebut. Pernah seorang pimpinan tentara melakukan penggalian sebuah terowongan menuju ke dalam stupa untuk menemukan sesuatu yang dapat dijadikan senjata. Maha Gandha Bell, dengan berat 23 ton yang didonasikan oleh Raja Singu dan yang secara populer dikenal sebagai Singu Bell juga pernah dikeluarkan. Tetapi, ketika dalam perjalanan dengan maksud mengapalkannya untuk dibawa Calcutta, Maha Gandha Bel ini tenggelam ke dalam sungai. Kejadian yang serupa juga pernah terjadi pada benda berharga lainnya yaitu Dhammazedi Bell yang hendak dibawa oleh petualang Portugis Philip de Brito y Nicote di tahun 1608.

Pada perang raya Burma-Inggris yang kedua, Bangsa Inggris kembali menduduki Pagoda Shwedagon di bulan April 1852. Selama 77 tahun berikutnya hingga tahun 1929, pagoda tersebut berada di bawah kontrol militer Inggeris, meskipun masyarakat tidak dilarang bila hendak mengunjunginya menuju Paya.

Selanjutnya Pagoda Shedagon ini kerap dijadikan arena perjuangan rakyat. Di tahun 1920 misalnya, para mahasiswa Burma dengan di sebuah paviliun di sebelah selatan Pagoda mengadakan pertemuan dalam rangka merencanakan unjuk rasa memprotes undang-undang Universitas yang baru yang hanya memberi keuntungan bagi elit berkuasa dan ditopang oleh hukum kolonial. Tempat ini sekarang dijadikan sebagai tempat untuk peringata hari Nasional Bangsa Burma (National Day). Selama perang kedua mahasiswa juga melakukan perjuangan yang bersejarah di tahun 1936 dengan mengambil teras pagoda Shwedagon sebagai kampus pergerakannya.

Pagoda Shwedagon juga menjadi tempat dan titik tujuan aksi para pekerja tambang di tahun 1938, yang melakukan protesnya dengan berjalan kaki dari ladang minyak di Chauk dan Yenangyaung di Burma Tengah menuju Rangoon. Perjuangan ini juga didukung oleh masyarakat luas termasuk mahasiswa yang dikenal sebagai “Revolusi 1300”yang juga memprotes para tentara yang bersepatu boot untuk melepaskan sepatunya ketika berada di halaman pagoda.

Ketika terjadi perjuangan kemerdekaatn, pagoda ini kembali menjadi tempat perlawanan yang bersejarah lainnya. Pada Januari 1946, jenderal Aung San mengadakan pertemuan massa di pagoda Shwedagon dalam menuntut kemerdekaa negerinya “kemerdekaan sekarang juga.” dari kolonial Inggeris.

Kemudian 42 tahun kemudian puteri Aung San, Aung San Suu Kyi juga mengadakan pertemuan massa di di tempat yang sama yang diikuti oleh 500.000 orang. Puteri pejuang kemerdekaan negeri Burma ini menuntut demokrasi dan mengadakan perlawanan terhadap rejim militer yang tengah berkuasa dalam peristiwa yang dikenal sebagai 8888, kebangkitan dan perjuangan kemerdekaan kedua

Gerakan Damai Bhiksu 2007

Kini pada September 2007, dengan diawali dan dimotori oleh para Bhiksu kembali Pagoda Shwedagon menjadi suaka bagi anak perjuangan anak negerinya. Pagoda Buddha ini menjadi arena perjuangan rakyat Myanmar dalam memprotes rejim militer yang berkuasa atas kenaikan bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya yang semakin memiskinkan kehidupannya.

Gelombang protes tersebut mencapai puncaknya pada 24 September 2007 yang diikuti oleh 20.000 bhiksu dan merupakan protes terbesar sejak 20 tahun terakhir. Mereka berbaris rapih di pagoda emas Shwedagon, Yangon itu. Protes itu terus bergulir bagai bola salju dimana dimana 30.000 orang bersama 15.000 bhiksu berbaris dari pagoda Shwedagon dan kemudian berhenti di tempat tahanan Aung San Suu Kyii, pemimpin oposisi dari partai Liga National untuk Democracy (NLP).

Pada 26 September, terjadi clash antara pasukan keamanan dan ribuan pengunjuk rasa yang dipimpin oleh para Bhiksu maupun Bhiksuni yang menyebabkan lima orang pengunjuk rasa tewas. Pasukan keamanan junta militer mempergunakan gas air mata, alat pemukul dan senjata api untuk membububarkan demonstrasi damai yang dilakukan sejumlah bhiksu di sekitar Pagoda Shwedagon.

Di halaman pagoda suci yang dijunjung tinggi oleh rakyat Myanmar itu, diantara kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan junta militer yang berkuasa juga terlohat 100 bhiksu yang masih bertahan dengan menyanyikan nyanyian-nyanyian suci, melakukan sembahyang menolak perlakuan kasar oleh pemerintahan junta militer terhadap rakyatnya. Sebaliknya pasukan keamanan junta di halaman pagoda itu justru memumukuli para pengunjuk rassa dan tetap menyerang ratusan bhiksu dan rakyat yang mendukungnya, dan beberapa bhiksu dan pengunjuk rasa lainnya pun berlari menuju pagoda Sule, sebuah monumen Buddhis yang juga menjadi landmark pusat kota Yangon.

Tampak bagi rakyat Myanmar, pagoda Shwedagon yang menjadi landmark dan identitas religius negara itu adalah juga simbol perlawanan dan perjuangan rakyatnya. Dari kejauhan butir-butir cahaya keemasan yang berpendar dari Pagoda yang telah menjadi saksi sejarah dan simbol perjuangan bagi anak negeri yang cinta damai, akan selalu memancar dan menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang berjuang dei pembebasan dari belenggu penderitaan. (Jo Priastana)

Posted in Sejarah | Leave a Comment »