Yasodhara Puteri

Mencerdaskan…Mencerahkan….

Archive for the ‘Pustaka’ Category

AKSI CINTA THICH NHAT HANH

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Mencermati Hakekat Perjuangan Tanpa Kekerasan


Beberapa hari setelah aksi damai para bhiksu di Myanmar dapat diredam oleh junta militer, hati pun menjadi risau manakala stasiun TV Aljazeera kerap memutar ulang kembali rekaman tindak kekerasan yang dilakukan junta militer terhadap para bhiksu dan rakyat Myanmar itu. Dalam tayangan itu terlihat para bhiksu dan rakyat berlarian, jatuh tersungkur ke dalam selokan atau menaiki pagar beruji menghindari pukulan, kejaran dan terjangan laras sepatu serdadu yang menyepak-nyepak dan menendan-nendangnya tanpa kenal kasih.

Rasa hati pun menjadi lebih teriris lagi manakala perjuangan para bhiksu yang berakhir anti klimaks itu dipandang sebagai suatu kekalahan, saat membaca tulisan Maruli Tobing (Kompas, 11 Oktober 2007) “Pedang Dilawan dengan Pedang,” sebuah tulisan yang menandakan epilog tentang Myanmar dan menyiratkan bagaimana junta milter telah amat dengan mudah menaklukkan perjuangan para Bhikkhu tersebut, mengingat junta militer masih menyimpan dan belum menggunakan senjata pamungkasnya yakni melakukan pembataian seperti pada peristiwa unjuk rasa di tahun 1988.

Sungguh suatu perasaaan kosong melompong yang hadir dan tak tahu harus berbuat apa, yang datang justru dihari kemenangan (Idul Fitri) mereka yang telah berhasil menaklukan dirinya dalam berpuasa sebulan penuh. Ragam pertanyaan tentang perjuangan para bhiksu dan rakyat di Myanmar itu pun bermunculan tak kunjung berhenti, seputar apa, bagaimana, kenapa, dan harus ke siapa?

Pantaskah perjuangan dengan cara damai dan tanpa kekerasan itu harus dihadapkan dengan kata kekalahan? Betulkan perjuangan dengan cara tersebut telah tidak lagi efektif untuk sebuah kemenangan politik? Haruskah terselip ambisi dari ego dan pamrih berupa pencapaian kemenangan politik dalam perjuangan tanpa kekerasan itu? Atau bahkan perlu mengamini bahwa kemenangan politik itu memang hanya dapat dicapai sesuai dengan judul tulisan tersebut diatas “pedang dilawan dengan pedang”?

Dalam kepasrahan di hari yang fitri itu, dan setelah mendapat penghiburan pada hari sebelumnya karena datangnya email dari Dewi Lestari yang mengirimkann tulisannya mengenai pengalamannya mengikuti retreat Thich Nhat Hanh di Hongkong, Maret 2007, maka pikiran pun berkelabat kepada sesosok Thich Nhat Hanh, pejuang tanpa kekerasan dalam perang Vietnam dan nominator Noble Prize yang kini bermukim di Paris.

Dan hari libur yang semula telah disiapkan untuk membaca buku “What Makes You Not A Buddhist,” karya Dzongsar Jamyang Khyentse, pesanan yang baru datang dari Amazon.com pun digantikan dengan menyimak kembali buku Aksi Cinta Thich Nhat Hanh yang lama tergeletak begitu saja, sebuah buku dengan kata pengantar pastor pejuang politik hati nurani di Indonesia, Alm. Romo Mangunwijaya, yang diperoleh sepuluh tahun lalu dari mantan siswa nakal, Daniel Johan aktivis Hikmahbuddhi yang juga bertindak sebagai penterjemah dan tokoh dibalik penerbitan buku itu.

Diseberang Kematian

Seketika ingatan pun melayang pada bagian pertama buku tersebut, dimana penulis dengan kwalitas kerohaniannya mampu menceritakan dalam sebuah percakapan dan dialog tentang perjalanan murid-muridnya yang telah meninggal, dengan sangat jernih dan tampak realistis. Membaca bagian pertama yang berjudul “Perjalanan Sesudah Kematian,” ini melayangkan kesadaran saya akan suasana mistis ketika menyaksikan film “The Others” yang dibintangi Nicole Kidman dimana yang tampak berperan nyata dan hidup itu adalah justru para makhluk yang telah meninggal.

Dalam bagian pertama ini bagaimana realistis dan jernihnya TNH melukiskan dialog keempat murid-muridnya yang meninggal dibantai tentara itu dengan Mai, bhiksuni muda muridnya yang lebih dahulu meninggal membakar diri pada malam hari 16 Mei 1967 di Pagoda Tu Nghiem, sebagai wujud protesnya terhadap perang Vietnam dan menaklukkan hati batu para pelaku perang.

Mai menjemput murid-murid SYSS (School of Youth for Social Service) pada pukul 01. 00 dini hari, sesaat setelah keempat siswa itu Hy, Lanh, Tho, dan Tuan ditembak mati di galangan sungai Saigon pada 5 Juli 1967, di malam dimana langit penuh bintang, tanpa bulan, dan TNH melukiskan keindahan alam kehidupan lain ini serasa tidak jauh berbeda dengan dunia kehidupan manusia nyata, dengan menggambarkan bahwa kematian itu adalah juga kehidupan.

Penulis lebih dari 60 buku diantaranya “Call Me by True Names, Peace Is Every Step, The Miracle of Mindfulness,” ini pun melukiskan kematian itu seperti membakar sebuah arang yang menjadi merah dan panas untuk kemudian berproses menjadi abu. Panas itulah yang menghantar perubahan wujud sebagai bentuk “kehidupan setelah” yang memulai suatu proses mempengaruhi yang tidak terganggu baik dalam energi maupun fisik seperti reaksi perubahan yang berantai.

Bagian pertama buku yang memperlihatkan percakapan para pejuang yang telah meninggal itu nyatanya menjadi penghantar untuk semakin mengenali hakekat perjuangan ahimsa atau tanpa kekerasan melalui 16 tulisan berikutnya yang terdapat pada bab kedua. Bagian kedua yang juga menceritakan tentang berbagai pengalaman nyata di dalam memperjuangkan perdamaian Vietnam melalui prinsip-prinsip ahimsa menurut tradisi Gandhi merupakan tamasya kemanusiaan melalui kata-kata berenergi yang mampu menyentuh hati dan cinta kita, cerminan dari hidup TNH sendiri yang damai, sederhana dan penuh cinta.

Betapa hadirnya perjuangan tanpa kekerasan itu tidak dapat dilepaskan dari cinta, begitu pula, tiada cinta yang/bila diam dihadapan tindak kekerasan yang terjadi. Dalam pengalaman cinta-nya ini TNH menyatakan, “cinta memberi kita kesempatan untuk melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang tidak memiliki cinta.” Buku “Aksi Cinta” dari Ketua Delegasi Perdamaian di Vietnam di tahun-tahun 60-an dan Ketua Delegasi Perdamaian Buddhis pada perundingan damai di Paria ini dapat dipandang sebagai sumber inspirasi dan kitab suci bagi para pejuang, aktivis anti kekerasan jaman kini.

Kekuatan Cinta

Cinta merupakan suatu aksi sebagaimana dengan kesadaran dan kehidupan itu sendiri yang dinamis tiada statis. Karenanya bila TNH membuka buku ini dengan percakapan tentang pejuang tanpa kekerasan yang telah meninggal itu dalam suatu percakapan antar roh, maka sesungguhnya letak dari kekuatan perjuangan ahimsa itu adalah kesadaran bukan sekedar pemahaman terhadap peristiwa kematian itu sendiri sebagai sesuatu pengalaman keberlangsungan yang tak perlu ditakuti.

Karena pemaham bukanlah kesadaran, dan orang bisa menjelaskan apa yang dia pahami. Namun soal kesadaran? Soal cinta? Soal ahimsa? Tiada lain adalah action, action, dan action sekalipun action itu tidak luput dari perjuangan dan pengorbanan, dari jerih, perih dan nyeri, dari luka dan duka, karena sesungguhnya pembayaran dari penemuan dan pengalaman tanpa kekerasan, cinta dan tanpa-aku, atau solidaritas itu sendiri adalah kehidupan itu sendiri, adalah penderitaan dan pertumbuhan manusia itu sendiri yang sama-sama memikul swastikanya masing-masing.

Karenanya bagi TNH sendiri, ia tidak mengenal kata benci untuk mereka yang melakukan kekerasan sekalipun terhadap dirinya. Pedang tidak harus dilawan dengan pedang, dan prinsip perjuangan tindak kekerasan bukanlah kemenangan politik untuk kekuasaaan, tapi adalah penaklukkan terhadap keakuan sendiri, mengembalikan manusia kepada fitrahnya mengenali jati-diri-sejatinya yang sementara ini selalu dibelenggu oleh nama, konsep, prasangka, label, dan ketakutan, kekhawatiran serta ilusi terhadap dirinya sendiri.

Lihatlah bagaimana sang prajurit junta itu yang seketika mengenali dirinya sebagai manusia dan juga melihat para bhikhu sebagai manusia yang bukan sekedar label pengunjuk rasa atau demonstran menjadi gemetar untuk menarik pelatuk senjatanya. Dalam kemanusiaan semuanya satu dan sama, sependeritaan dan sepenanggungan, dan saling ketergantungan, saling berpenetrasi satu sama lain, sebagaimana di dalam sehelai kapas atau kertas terdapat yang lainnya air, udara, pikiran, keringat maupun nafas manusia.

Dan kekuatan serta kemenangan dari prinsip perjuangan ahimsa itu terletak dalam kemanusiaan yang bersemayam di hati semua orang itu, dan ketika semuanya tersentuh dan luruh bersama cinta, termasuk para pimpinan junta militer Myanmar itu. (jo priastana).

“AKSI CINTA: Kumpulan Tulisan Mengenai Perubahan Sosial Tanpa Kekerasan”

Penulis: Thich Nhat Hanh, diterbitkan oleh Yayasan Pencerahan dan Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta, 1996. Judul Asli: “Love in Action: Writings on Nonviolent Social Change/Thich Nhat Hanh, 1993.

Posted in Pustaka | Leave a Comment »