Yasodhara Puteri

Mencerdaskan…Mencerahkan….

BOLA DHARMA

Posted by yasodhara on April 3, 2009

WHEN THINGS FALL APART

FROM NOTHING TO SOMETHING

Oleh Jo Priastana

Pesepak-bola Roberto Baggio, yang dikenal juga seorang penganut Buddhis yang taat pernah memberikan petuah teka-teki kebijaksanaan hidup kepada Luca Tony, striker Tim Azzuri Italia Piala Dunia 2006 sewaktu bersamanya bermain di Club Brescia. Liga Italia.

Petuah mantan kapten Tim Piala Dunia Italia, 1994, murid Dalai Lama ini berbuyi: “Jikalau kamu mau menjadi pemain bola yang baik, kamu harus menjadi manusia yang baik.” Petuah ini jelas menggambarkan bahwa menjadi manusia baik itu merupakan tujuan utama sebagai seseorang mengatasi dan mensyaratkan ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya.

Menjadi pesepak-bola yang baik misalnya juga tidak lepas dari menjadi manusia yang baik. Mungkin banyak pemain sepak bola yang berhasil memecahkan petuah teka teki kebijaksanaan hidup Roberto Baggio itu, seturut dengan pengalaman hidup yang dialaminya. Setidaknya ini mungkin yang dialami oleh maha bintang piala dunia 2006, Zinade Zidane.

From Something To Nothing

Zidane yang sampai saat itu disebut-sebut tidak hanya sebagai pemain bola yang handal, tetapi juga sebagai manusia yang baik, rendah hati, sportif, tidak emosional akhirnya harus berakhir secara tragis. Di ujung akhir babak final yang menyisakan pertandingan 5 menit lagi berakhir, ternyata ia melepaskan kebaikannya sebagai manusia, harus berbuat salah dikartu-merahkan, setelah menyeruduk pemain Italia Matterazi.

Citra Zinade Zidane yang telah terlanjur melekat pada dirinya seabagai manusia baik sepanjang kariernya sebagai pesepak bola hancur berantakan justru pada saat diujung akhir pertandingan. Malapetaka menimpanya justru ditengah-tengah puncak kecemerlangannya, segala sesuatu yang telah dimilikinya dan sesaat lagi akan memperoleh pengukuhannya tiba-tiba hancur berkeping-keping oleh karena kesalahan setitik dan sekejap, from something to nothing.

Hidup tampaknya begitu mudah pecah. Apa yang telah dibina dan diusahakan bertahun-tahun dapat luruh dengan seketika, baik itu dalam prestasi yang telah dibina maupun jalan kesucian yang telah ditempuh. Bahkan cinta pun rawan terbelah, perkawinan tak luput dari perceraian, apa yang tampak serasi atau ditutup secara rapih ternyata menyimpan retakan-retakan dan kebusukan.

Itulah barangkali derita, hukum kesunyataan yang terjadi dan harus ditanggung manusia, dimana perubahan senantiasa mengintip. Menjadikan manusia harus menanggungnya karena dapat menjadikan hidupya berantakan dan bahkan berakhir dengan kehancuran, frustrasi tak terkira hingga kematian.

Manusia itu mudah pecah, berserpih-serpih, dan setiap serpihan pecahannya itu mengingatkan dan menyadarkan bahwa tidak hanya kaca atau gelas, tetapi juga dirinya sendiri mudah pecah. Sebab manusia yang tercipta atas nama dan rupa adalah insan yang dapat bersalah dan fana atau tidak kekal.

Manusia memang tersusun dari rupa dan nama yang, mempunyai nafsu, ketakutan, kerinduan dan cinta. Manusia tidak terbuat dari plastik yang liat atau baja yang kuat, karena itu ia mudah pecah. Itulah realitas yang harus dihadapi setiap insan, sebagaimana dialami oleh Zinade Zidane, dan yang diungkapkan oleh Pema Chodron, atau pengarang Rudolf Walter dalam kumpulan karangannya tentang perlunya “hati yang terbuka” agar manusia bisa menerima dirinya dan menjadi bahagia.

When Things Fall Apart

Nasib yang dialami Zidane di World Cup 2006 dimana sebutan pemain dan manusia yang baik itu runtuh di sisa lima menit terakhir pertandingan usai, sepertinya mengingatkan kita akan judul buku yang ditulis oleh Pema Chodron, “When Things Fall Apart,” Ketika segalanya berantakan atau tak terkendaku, terpisah

Buku yang ditulis oleh Pema Chodron, seorang biarawati Buddha di AS ini berisikan nasihat-nasihat yang menyejukkan hati bagi siapa saja ketika menghadapi masa-masa yang sulit. Ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri, Pema mengakui ia bisa keluar dari situasi yang sulit berkat menghayati ajaran Buddha.

Mantan murid Chgyam Trungpa, guru meditasi terkenal yang mendirikan biara Tibet di Amerika Utara ini mengungkapkan tentang efektifnya ajaran Buddha dalam menata kehidupan yang tak terkendali, dan kembali membalikkannya menjadi kehidupan yang baik dan terkendali, penuh kebahagiaan.

Menurutnya, situasi tak terkendali itu dapat saja tiba-tiba dtang sehingga menutup peluang kebahagiaan yang ada di depan mata, karena kita sering terperangkap oleh upaya-upaya untuk melarikan diri dari kepedihan dan penderitaan dan membalasnya dengan agresi. Keadaan yang persis itulah yang dialami Zinade Zidane. Menurut pengakuannya, ia menanduk Matterazi karena tak kuasa menahan cemohan dan hinaan yang ditujukan kepadanya.

Sebagaimana pengalaman hidup yang pernah diterimanya, Pema memberi saran agar kita dapat bersahabat. Katanya, justru ditengan-tengah situasi yang menyakitkan atau ketika kekacauan itu datang, kita perlu menumbuhkan sikap bersahabat, dan rileks, sehingga dapat menemukan kebenaran dan kasih dan mengatasi kepedihan yang datang.

Pema menyarankan untuk menghadapinya dengan penuh welas asih terhadap diri sendiri. Kebangkitan sikap penuh belas kasih yang tiada kenal takut terhadap kepedihan kita sendiri maupun kepedihan sesama kita. Inilah yang diungkapkan Buddha, ajaran tentang kejujuran, kemurahan dan keberanian, rileks dengan apa pun yang terjadi, dan tetap di jalan yang benar.

Menurutnya, setelah kamu dapat bersahabat dengan dirimu, maka situasi mu pun akan lebih bersahabat. Tekadang karena penyakit atau kematian lah kita temukan diri kita di tempat dan pada situasi kepahitan, kepedihan itu. Karenaya, setiap saat itu sangat berarti, setiap detik itu demikian berharga, seluruh kehidupan menjadi sangat berarti, tidak takut lagi menghadapi kematian.

Sesungguhnya ketika segalanya tak terkendali, justru disitulah datang semacam ujian dan juga semacam kesembuhan. Terkendali, tak terkendali, terkendali, tak terkendali, terkendali. Kita seringkali menganggap dapat memperkiarakan segala sesuatu. Tapi sesungguhnya kita tak tahu apa yang benar-benar terjadi.

Kita anggap sesuatu itu buruk, kita anggap sesuatu itu baik, padahal kita tidak benar-benar tahu, dan apakah ketika berada di tebing itu adalah semacam ujian? Maka petuah teka-teki kebijaksanaan hidup yang dilontarkan oleh pesepak-bola Roberto Baggio itu pun terasa menemukan momentumnya, semacam ujian kehidupan bagi kita semua.

From Nothing To Something

Tampaknya rahasia hidup juga tercermin dalam sebuah permainan sepak-bola. Lihatlah, bukankah dalam permainan yang menjadi pujaan milyaran manusia di muka bumi itu tercermin semua segala perilaku manusia yang diperlukan untuk hidup. Termasuk juga mungkin soal nasib yang tak menentu sebelum pluit akhir berbunyi, sebelum tarikan nafas terakhir kehidupan manusia.

Sepak bola menarik milyaran manusia menontonnya sepertinya mereka menonton rahasia kehidupan mereka sendiri. Bhiksu kepala Shaolin, Shi Yong xin, pun menonton dan bahkan diundang menyaksikan sepak bola Piala Dunia 2006 oleh FIFA,. dan juga turut memberikan komentarnya tentang sepak-bola, dan yang sedikit banyaknya ada hubungan dengan petuah kebijaksanaan hidup yang dikatakan Roberto Baggio.

Katanya, sepak bola itu menekankan kerja sama, semangat perjuangan, dan talenta (bakat) serta keahlian individu. Selain itu, tidak hanya keahlian saja sebagai pesepakbola, tapi unsur-unsur kebaikan sebagai manusia pun harus menyertai olahraga itu, seperti berkwajiban bermain bersih dan tidak curang, memiliki kedisiplinan dan pengedalian diri.

Sepakbola ternyata memberi kita juga suatu falsafah hidup yang berguna. Sepakbola bukan hanya sekedar olahraga, tetapi juga memberikan kekayaan inspirasi pelajaran hidup tentang kerja keras, pemain berlatih dan berjuang jatuh bangun, kalah dan menang, tidak mudah menyerah, dan bahkan perlajaran yang akhirnya bisa mengubah from nothing to something, dari nyaris kalah hingga akhirnya menang pada detik terakhir.

Sebuah pelajaran, bahwa sampai detik terakhir hidup kita pun senantiasa perlu memiliki harapan sehingga perjuangan, semangat hidup terus berlangsung. Pertandingan yang dibatasi waktu, dan karenanya dapat menyadarkan manusia bahwa hidupnya juga suatu saat akan berakhir. Dalam rentang waktu itu, sebagaimana permainan sepakbola, hendaknya kita dapat menggunakan kesempatan dan waktu sebaik-baiknya untuk terus berjuang dan berkarya..

Bola nasib yang tak terelakkan seperti roda cakra hari Asadha yang mengumandangkan hidup ini dukkha, anicca dan anatta memang harus terjadi. Tapi perlu juga dihadapi dengan pantang menyerah dan terus mencari tahu dengan kerja keras dan kompetisi sampai peluit akhir berbunyi.

Pelajaran jangan lengah dan meninggalkan kewaspadaan, sekalipun telah menjelang akhir. Menit-menit terakhir bisa jadi begitu berarti, seperti pada dua menit terakhir kesebelasan Jerman dikalahkan oleh Italia dalam semi final World Cup 2006, karena lengah dan hilangnya kewaspadaan, lenyapnya konsentrasi.

Legenda sepak bola, Pele pernah bilang, pada sepak bola, anda bisa melihat kehidupan di dalamnya. Sisi kehidupan tentang perputaran nasib. Sepak bola sepertinya mencerminkan nasib dan takdir manusia. Berbagai drama yang kita saksikan di ajang Piala Dunia 2006 menunjukkan betapa akhirnya manusia tidak bisa menghindar dari yang namanya nasib, namanya perubahan.

Nasib baik dan nasib buruk adalah bagian yang harus diterima, tanpa pernah kita bisa mengetahui kapan semua akan datang. Hanya saja kita pun harus ingat bahwa tidaklah mungkin kita hanya menunggu nasib. Takdir manusia untuk terus berusaha, bekerja dengan penuh semangat, pantang menyerah, dan mempersiapkan kemampuan terbaik, untuk bisa meraih cita-cita.

Sampai menit terakhir berbunyi, perjuangan harus terus dilakukan, sebelum kematian menjemput cita-cita ini harus diperjuangkan. Demikian tekad luar biasa Siddharta Muda menjelang pencapaian Nirvananya dibawah pohon Bodhi. To be or not to be, tekad yang tercermin dalam lemparan mangkuknya melawan arus sungai neranjara, kalau memang namaku Siddharta: Cita-Cita Yang Tercapai, maka hal yang tak mungkin pun bisa menjadi mungkin.

Mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus, from nothing to something. Adalah mungkin untuk sesuatu yang diperkirakan tidak mungkin. Kesempatan dan peluang kemenangan senantiasa terbuka, terus berjuang sampai menit terakhir berbunyi.

Cakra, roda dharma yang beputar menyimbolkan waktu yang terus bergulir mengukir nasib dan keterbatasan akhir hidup manusia. Buddhadharma terus berputar mengabarkan keterbatasan manusia dalam waktu, dan sekaligus memperlihatkan keuniversalan dan keabadian Buddhaddharma.

Seperti Baggio mengatakan, maka dalam Buddhadharma itu kemanusiaan jauh lebih besar dari ketrampilan. Manusia mudah pecah dan apa yang sudah dupupuk bisa berantakan. Dan karenanya, pesan yang disampaikannya adalah: jangan hilang konsentrasi, harus waspada, terus berjuang sekalipun pluit akhir akan berbunyi, terus menumbuhkan nimita yang baik sekalipun kematian akan menjelang.

***

Leave a comment