Yasodhara Puteri

Mencerdaskan…Mencerahkan….

BUDDHADHARMA DAN PERANG

Posted by yasodhara on February 10, 2009

Oleh Jo Priastana

Di penghujung tahun 2008, Palestina kembali bergolak. Serangan Israel dengan persenjataannya canggihnya menggempur pejuang Hamas di daerah jalur Gaza Palestina telah menimbulkan banyak korban pada masyarakat sipil. Dikabarkan lebih dari 800 orang ratus tewas dan ribuan luka-luka termasuk diantaranya kanak-kanak dan warga tak bersakah.

Palestina dikenal dalam sejarah sebagai tanah suci yang tak sepi dari peperangan, khususnya peperangan antara negara-negara Arab dan Israel. Seperti perang yang cukup besar di tahun 1948 yang oleh Israel disebut sebagai perang kemerdekaan, dan bagi Arab serta Palestina sebagai awal perang penjajahan. Seterusnysa terjadi perang besar kembali di tahun 1967.

Jauh sebelum 1948, Tanah Palestina sendiri sudah menjadi ajang peperangan, seperti Perang Salib untuk memperoleh Tanah Suci dengan Jerusalemnya, yang pengaruhnya, menurut ahli sejarah agama Karen Armstrong masih terasa hingga kini.

Meskipun manusia selalu mendambakan perdamaian, namun perang tampaknya tak pernah lepas sepanjang sejarah kehidupannya di atas bumi ini. Sejarah mencatat ribuan para pahlawan peperangan yang dipelajari anak-anak sekolah. Apakah peperangan memang tidak bisa dihindari dalam sejarah kehidupan manusia?

Apakah pahlawan orang yang melakukan pahala kebajikan yang dipelajari anak-anak sekolah itu itu harus muncul dari medan perang? Apakah memang dunia harus dihias dengan peperangan? Apakah perdamaian yang menjadi dambaan manusia hanya dapat tercipta karena melalui peperangan? Apakah memang bila mau menciptakan perdamaian, orang harus bersiap untuk peperangan?

Ironis, kalau memang jalan peperangan yang harus ditempuh untuk sebuah perdamaian? Bukankan politik kekerasan yang diwujudkan dalam perang tetap saja menimbulkan konflik yang tak berkesudahan dan memakan banyak korban, sebagaimana ribuah nyawa telah melayang sepanjang sejarah Palestina dan Israel serta jutaan manusia menjadi korban menghias sejarah bangsa-bangsa di dunia.

Politik Yang Beradab

Haruskah kekerasan dan konflik itu tak ada akhirnya? Meski hal ini menyangkut kehidupan bersama, bangsa dan negara, namun apakah kita tidak bisa belajar tentang selesainya konflik dalam diri, tumbuhnya cinta kasih dan perdamaian, serta kehidupan luhur sebagaimana yang tercermin dalam diri Sang Buddha dan Dharmanya.

Sang Buddha yang telah mencapai kemenangan sebagai seorang manusia dengan menaklukkan kepentingan dirinya sendiri, dan bahkan dalam biografi kehidupannya telah diawali dengan penolakan terhadap takhta kekuasaan. Sang Buddha dan Buddhadharma senantiasa mengingatkan akan kedamaian dan tindakan tanpa kekerasan, baik terhadap yang lain dan terlebih lagi adalah di dalam menaklukkan diri sendiri.

Dalam konteks sosial-politik memang itu bukan sesuatu yang mudah, tidak semudah kaum beragama mengucapkan dan menganjurkannya saja. Tetapi sebagai suatu aspirasi dan cita-cita yang terpancar dari kedalaman lubuk hati setiap manusia, maka tindakan perdamaian, tanpa-kekerasan, menghindari peperangan juga bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak mungkin.

Dalam perspektif agama, khususnya agama Buddha, ajarannya yang menekankan agar setiap manusia dapat memajukan kualitas kehidupan spiritualnya, juga berlaku dalam tataran kehidupan politik, yakni tingginya kualitas kehidupan antar negara, kehidupan yang tidak melibatkan dan tidak diberlakukannya kekerasan dalam menyelesaikan segala macam masalah yang berkenan dengan konflik.

Dimensi ketinggian peradaban yang mencerminkan keluhuran spiritual manusia, juga harus menjiwai lapangan politik. Demikianlah yang diserukan oleh Buddha dalam kesuyataan Dharmanya, dan dengan begitulah baru bisa dikatakan bahwa politik itu maju dan beradab. Politik yang maju dan beradab seperti itu adalah politik yang “tanpa membunuh, tanpa melukai, tanpa menjajah, tanpa membuat sedih, dan mengikuti Dhamma atau ajaran kebenaran” (Samyutta Nikaya).

Kekerasan Bukan Segalanya

Memang bila melihat aspek politik di dalam sejarah perkembangan Buddha dharma, maka akan diketemukan raja besar yang bernama Asoka (abad k3 SM). Raja ini menjalankan ajaran tanpa kekerasan, dengan cinta dan perdamaian.

Semua itu dilakukannya termasuk menyangkut urusan dalam negaranya yang amat luas dan besar Tindakan raja yang besar ini merupakan sesuatu yang tampaknya diluar pola pikir kebanyakan orang, para politikus atau pemimpin negara yang saat ini masih tetap saja bersikeras harus menggunakan kekerasan.

Bagi Asoka tindakan kekerasan bukanlah segalanya atau senjata akhirnya, sekalipun mungkin tindakan itu dapat memenangkannya. Tindakan yang menjauhkan kekerasan atau peperangan menjadi kerangka pola pikir Buddhis, dan merupakan cermin dari berjalan seiringnya antara cita-cita beragama dengan cita-cita berpolitik.

Politik tanpa kekerasan ini bukanklah sesuatu yang tidak mungkin sebagaimana yang telah diperlihatkan Asoka, seorang penganut Buddha yang mempraktekkan Buddhadharma dan sekaligus mampu menciptakan suatu negara yang makmur, dan memelopori sikap tanpa kekerasan serta toleransi kehidupan beragama.

Dalam sejarah umat manusia, Asoka adalah satu-satunya seorang raja besar, seorang penakluk yang pada puncak kejayaannya masih mempunyai kesempatan dan kekuatan untuk meneruskan penaklukkannya, namun dengan secara sadar ia mengalihkannya. Sikap Raja Asoka ini mungkin bisa menjadi cermin atau teladan bagi para penguasa, pemimpin negara dewasa ini.

Daripada menggunakan kekerasan dan ancaman perang untuk menegakkan hegemoni dan egonya, lebih baik berdiplomasi dengan bahasa perdamaian dan sungguh-sungguh merasakan bahwa hidup adalah saling bergantungan dan saling berdampingan yang akan mahal taruhannya bila harus berperang dengan menggunakan kekerasan, sebagaimana yang terjadi di Palestina akhir-akhir ini yang telah menelan banyak korban, penderitaan dari kedua belah pihak.

Bukan Cuma Perang

Suatu bangsa dan negara memiliki pemimpinnya. Para peminpin sangat berperan besar dalam menentukan kehidupan suatu bangsa dan negara, termasuk juga dalam menentukan penggunakaan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah seperti dengan menyelenggarakan peperangan.

Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki visi, dapat membawa dan membimbing rakyatnya kepada visi dan tujuan yang diperjuangkannya. Dan untuk itu, sudah sepantasnya bila lebih dahulu telah sanggup untuk mengubah diri dan hidupnya demi kepentingan orang lain.

“Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik.” (Anguttara Nikaya, Digha Nikaya III). Begitu pula berlaku ujar, “Tidak mungkin seorang yang terperosok dalam lumpur dapat menarik orang lain keluar dari lumpur. Hanya seorang yang telah bebas dari lumpur dapat menolong orang lain.” (Majjhima Nikaya).

Menyangkut kekerasan yang mungkin dipergunakan oleh pemimpin dalam mencapai tujuannya seperti dalam perang misalnya, maka menurut Buddhadharma tak ada yang dinamakan “cuma perang“ yang merupakan istilah keliru yang diciptakan untuk membenarkan dan membolehkan terjadinya kebencian, kekejaman, kekerasan, dan pembunuhan.

Siapa yang memutuskan bahwa sesuatu itu benar dan tidak benar? Sehingga peperangan atau kekerasan itu dapat memperoleh alasannya, dimana yang kuat dan yang menanglah yang “benar” dan yang lemah dan yang kalahlah yang “tidak benar”. Dalam perang atau mempergunakan kekerasan terkandung anggapan kitalah yang selalu “benar” dan kamulah yang selalu “tidak benar.” Buddhadharma tidak menerima hal seperti ini. (Dr. Buddhadhasa P. Kirtisinghe, 1987).

Sang Buddha selalu tidak membenarkan terjadinya pemakaian kekerasan atau peperangan. Ketika Vidudhaba, putra Raja Pasenadi dari Kosala menyerbu Kapilavasthu dengan empat divisi prajurit, ia melewati Sang Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon yang sudah layu.

Ketika melihat Sang Buddha, Vidudhaba bertanya kepada Sang Putra Sakya itu, “Mengapa anda duduk di bawah pohon yang sudah layu ini, sedangkan ada banyak pohon yang tumbuh penuh dengan dedaunan dan banyak cabangnya?” Sang Buddha menjawab: “Naungan rasa persaudaraan lebih mulia daripada naungan rasa permusuhan.”

Begitu pula dengan Ajatasattu. Ketika Raja Ajatasattu, putra Bimbisara dari Magadha ini, hendak menyerang Vajjis, negara tetangganya, ia meminta saran terlebih dahulu kepada Sang Buddha lewat pendeta Vassakara.

Kemudian Sang Buddha mengingatkannya untuk tidak mengobarkan peperangan, tidak mempergunakan kekerasan, melainkan sebaliknya yakni menjalankan politik tanpa kekerasan yakni dengan menekankan untuk bermusyawarah dan mematuhi semua ketentuan perdamaian yang telah diberlakukan. (Maha Paninibbana Sutta). ***

One Response to “BUDDHADHARMA DAN PERANG”

  1. Johanes said

    Menurutku,peperangan mungkin sarana untuk ‘mempraktekkan’ kecanggihan senjata-senjata yang telah dibuat…
    Perang terjadi karena senjata-senjata,bom,nuklir tercipta…
    Manusia memang selalu diliputi ketidaktahuan….

Leave a comment