Yasodhara Puteri

Mencerdaskan…Mencerahkan….

Archive for the ‘Film’ Category

THE GODDES OF MERCY PUTRI MIAO SHAN

Posted by yasodhara on February 10, 2009

IN THE NAME OF GUAN YIN

Kisah Welas Asih Bodhisattva Avalokitesvara

Di awal film The Goddes of Mercy, terdengar suara sebagai Hyang Buddha yang menyatakan Bodhisattva Avalokitesvara yang akan menitis ke dalam jasad perempuan di negeri Mi Chuang adalah bukanlah suatu persoalan. Disitu ditegaskan,  bukankah penderitaan perempuan itu lebih besar ketimbang lelaki.

Kemudian Sang Bodhisattva Avalokitesvara sendiri lalu menyatakan, biarkan Aku menjadi perempuan demi melepaskan penderitaan orang, dan menjadi teladan bagi kaum perempuan yang sama setaranya dengan kaum lelaki. Itulah penggalan dialog dan tayangan tentang Bodhisattva Avalokitesvara yang hadir  sebagai perempuan dalam sosok Dewi Guan Yin dan yang lebih dikonkritkan lagi dalam legenda China tentang Putri Miao Shan.

Adakah yang salah dan keliru, bila Bodhisattva Avalokitesvara yang merupakan cerminan konsep filsafat Mahayana tentang Sambhogakaya (satu dari Trikaya) atau ketubuhan Buddha yang tidak tampak, tubuh rahmat, tubuh cahaya yang memancarkan energik dan vitalitas kasih sayang terpersonifikasikan dalam wujud sosok  perempuan?

Sosok Feminim

Apakah sosok feminim atau perempuan kurang cinta kasih dan welas asihnya ketimbang sosok lelaki atau malah sebaliknya? Dalam legenda putri Mio San yang tumbuh menjadi keyakinan terhadap personifikasi Bodhisattva Avlokitesvara justru datang sebagai perempuan, padahal  kerajaan Mi Chuang saat itu membutuhkan seorang putra mahkota.

Kedatangannya ini memperlihatkan bahwa kelahiran seorang anak perempuan itu adalah setara dengan lelaki bahkan lelaki  sebagai putra mahkota kerajaan sekalipun.  Perwujudan  ini  mau menyatakan bahwa  cinta kasih, kasih sayang itu tidak mengenal batas-batas jender.

Namun, ditengah-tengah masih membatunya ideologi patriarki masa itu, kehadiran puteri Miao Shan sebagai puteri ke tiga kerajaan Miao Chang  yang berani dan bebas menentukan jalan hidupnya sendiri, tidak mau dijodohkan seperti kebanyakan perempuan pada umumnya masa itu, dan berani mengambil jalan kehidupan sebagai rahib-bhiksuni, justru dianggap sebagai guncangan terhadap tatanan budaya dan tradisi dengan ideologi patriarkinya yang memapankan kedudukan dan status lelaki.

Namun, apakah cinta kasih dan kasih sayang harus tersekat oleh jender, budaya dan tradisi?  Melampaui batas-batas jender, budaya, dan tradisi,  Bodhisattva Avalokitesvara hidup sebagai cerminan nilai welas asih dan kasih sayang yang suka membantu tanpa batas tanpa kenal lelah tanpa mogok dengan tangan seribunya. Dan doa.  Pujaan,  permohonan kepadanya pun tumbuh dan hidup di dalam setiap hati orang yang meyakininya.

Karena itu, hati siapa yang tidak tergetar bila menyebut nama Avalokitesvara? Bodhisattva yang diwujudkan dalam figur perempuan dan sangat popular dipuja umat Buddha di berbagai kebudayaan dan banyak negara seperti Cina, Korea, Jepang, dan negara2 Asia Tenggara juga di Indonesia  ini.

Guan Yin telah menginspirasi orang Asia karena menjelaskan peran pokok yang harus dilakukan yakni praktik ajaran Buddha tentang welas kasih. Kisahnya yang terpendam dalam pemahaman Bodhisattva Avalokitesvara  terekspresikan dalam  legenda, sejarah, puisi, filsafat, praktik keagamaan, dan gambar-gambar serta seni pahat yang bertebaran dimana-mana.

Adakah yang salah dengan pemujaan kepada welas asih ini di dalam nama Guan Yin, sebagai keluhuran Kebuddhaan yang mampu melihat dan mendengar tanpa batas, dalam kekosongan (sunyata) tanpa membeda-bedakan, dan menjadi dewi penolong semua makhluk dengan kasih sayangnya yang universal?

Melalui pemujaan terhadap Bodhisattva Avalokitesvara inilah, membuktikan agama Buddha dapat tumbuh subur dan berkembang di berbagai negara dan budaya. Melalui legenda negeri Cina,  Bodhisattva Avalokitesvara  dikenal juga sebagai Puteri Miao Shan, perwujudan dari The Goddes of Mercy, dewi welas asih, yang berwujud feminin dan memperlihatkan keluhuran agama Buddha yang berkata “ya” terhadap kesetaraan gender.

Dalam film The Goddes of Mercy, kita juga dapat saksikan ujar-ujar bijak nan cerdas yang mencerminkan keluhuran Buddhadharma sebagai ajaran kasih yang tanpa batas, kasih sayang melawan diskriminatif, kasih sayang yang satu adanya mengatasi segala dikotomi gender dan perbedaan yang ada. Bahwa pencerahan seseorang adalah juga karya pembebasan di dalam menolong makhluk lain yang menderita.

Kasih Sayang Tak Terbatas

Karenanya, sebagai perwujudan konsep Sambhogakaya (tubuh cahaya, tubuh rahmat), satu dari ajaran Trikaya (Tiga Tubuh Buddha) dalam Mahayana, prajna (kebijaksanaan pencerahan) dan karuna (welas asih dalam pembebasan) itu tiada saling terpisahkan. Pencerahan dan kasih sayang, pandangan terang dan pembebasan adalah  dimensi-dimensi luhur dari sunyata (kekosongan).

Dalam film The Goddes of Mercy yang mengisahkan satu dari sekian versi legendanya sebagai puteri Miao Shan, penjelmaan Bodhisattva Avalokitesvara di dunia, memperlihatkan keindahan dari kesempurnaan perwujudan prajna (kebijaksanaan, kecerdasan spiritual) dan karuna (kasih sayang, kecerdasan sosial), dan kesetaraan perempuan dengan lelaki di bidang spiritual.

Bagaimana puteri yang kelahirannya tidak diharapkan lantaran ia bukan seorang putra itu memberi pelajaran tentang kebijaksaan dan kasih sayang kepada para lelaki yang berlumur kekuasaaan dan kekuatan duniawi. Bahwa kasih sayang, perdamaian, sikap non-kekerasan adalah kekuatan dan puncak dari keberhasilan.

Melalui hasil pencerahannya sebagai Phusat (Bodhisattva) puteri simbol welas asih ini juga memberi pelajaran tentang hakekat kehidupan, makna penderitaan manusia serta peluang mencapai pencerahan dan pembebasan dari lorong penderitaan. Bahwa manusia dilahirkan dalam dunia yang penuh penderitaan.

Untuk itulah sudah menjadi tugas Bodhisattva Avalokitesvara untuk membebaskan derita manusia itu, karena dia memiliki karakter welas asih dan murah hati. Dengan melepaskan umat manusia dari segala kesusahan dan penderitaan, maka puteri Miao Shan ini sekaligus mencapai kekosongan pencerahan sejati.

Kesadaran kekosongan itu (sunyata) tanpa batas, tanpa keterikatan, dan semata ketenangan murni, bebas dari segala keterikatan duniawi atau dikotomi, dualisme: pikiran ini dan pikiran itu, ada dan tiada, abosolut dan manifestasi, tampak dan tak tampak, historis dan mistis. Perasaan mengombang-ambingkan ke dalam perbedaan, tiada pendirian karena tidak melihat hakekatnya yang terdalam.

Bila mata batin telah tercerahkan mengatasi dualisme, maka kelahiran baik sebagai raja dan rakyat itu sama saja, hari lalu hari esok adalah hari ini, bencana dan keberuntungan sama saja, langit di luar langit di dalam bersatu dalam hati yang damai, sebagaimana juga tak ada kebahagiaan tanpa adanya penderitaan.

Dalam nama Guan Yin yang selalu dipuja dan dihormati karena beliau tak henti melihat dan mendengar penderitaan banyak makhluk dalam kesunyataannya, kasih sayang itu mewujud tanpa batas tanpa bias! Om Mani Padme Hum!  (Jo Priastana).

Posted in Film | Leave a Comment »

CINTA DAN PEDANG ASOKA

Posted by yasodhara on February 10, 2009

Oleh Jo Priastana

Bintang Bollywood yang tenar dengan film Kucha-Kucha Ho Ta Hai, Sharukh Khan tampil dalam sebuah film roman sejarah, Asoka. Dalam film keluaran Arclights ini, Sharukh Khan yang memerankan Asoka tampil bersama bintang cantik jelita Kareena Kapoor yang berperan sebagai Kuurwakhi, perempuan yang sangat dicintai Asoka.

Film ini tidak berpretensi menjadi film sejarah yang menggambarkan riwayat hidup Raja Asoka dan melukiskan kebenaran sejarah. Film Santosh Sivan yang meski mengambarkan Asoka sejak kecil hingga akhir kekuasaannya ini lebih tepat dikatakan sebagai film roman percintaan yang berlatar belakang sejarah hidup (percintaan) Raja Asoka.

Kisah percintaannya dengan Kuurwakhi, putri Kalinga menjadi tema cerita, dipadu dengan sejarah Asoka, raja besar yang hidupnya sarat dengan peperangan dan berbagai pertempuran. Kuurwakhi adalah kakak dari pewaris takhta Kalinga, seorang anak kecil yang bernama Ariya. Ariya kecil ini sangat mengagumi Pawen (nama seekor kuda, nama yang juga dipergunakan Asoka dalam memperkenalkan dirinya).

Kisah cinta Asoka dan Kuurwakhi yang kandas oleh perpisahan dan tipu daya intrik kerajaan pada akhirnya dapat dipertemukan kembali namun di medan laga yang menghadapkan mereka satu sama lain sebagai satria yang saling berlawanan.

Di tengah-tengah kisah percintaan mereka terselip Devi yang secara tidak sengaja hadir dalam kehidupan Asoka, diperisteri Asoka. Perempuan dari kalangan beragama Buddha ini berani berhadapan dengan kebengisan Asoka yang timbul karena frustrasinya tidak mendapatkan Kuurwakhi.

Kehadiran Devi yang tidak disengaja dalam kehidupan Asoka inilah yang melahirkan putra-putri Asoka, yang akhirnya menjadi utusan-utusan dharma menyebarluaskan Buddhadharma.

Cinta dan Pedang

Film dibuka ketika Asoka kecil memohon kepada kakeknya Chandragupta Maurya, raja yang akan pergi ke prabon menjalani hidup sebagai pertapa. Asoka kecil memohon untuk diberikan kepadanya sebuah pedang pusaka.

Kakek Asoka itu tidak memberikannya seraya mengingatkan bahwa, pedangnya itu adalah bukan pedang biasa melainkan pedang durjana. Dikatakannya, bila pedang itu dikeluarkan dari sarungnya, maka ia akan meminta darah, tidak kenal lawan dan kawan, dan hanya darah saja.

Asoka kecil yang keras kepala itu tidak menghiraukan peringatan kakeknya. Ia memungut kembali pedang pusaka yang telah dilemparkan oleh kakeknya itu dari sela-sela batu sebuah sungai.

Sebagai putra dari seorang raja yang beristeri banyak, bersama pedang pusaka itu Asoka menjadi seorang yang jago perang. Ia menjadi panglima perang yang sangat ditakuti, apalagi ia juga kandidat pewaris takhta.

Sebagai panglima perang yang handal, banyak wilayah ditaklukkan diantaranya adalah Taxila. Sebagai pewaris takhta, Asoka juga tidak luput dari upaya pembunuhan terhadap dirinya oleh pesaingnya, seperti Sushima saudara tirinya yang sangt iri dan takut warisan takhta kerajaan jatuh ke tangan Asoka.

Pada dasarnya, Asoka sendiri bukanlah orang yang berambisi merebut takhta., meski kehandalannya dalam beperang mensyaratkan bahwa ia pantas sebagai raja. Ia bahkan mengabulkan permohonan ibunya untuk meninggalkan negerinya dan menjadi orang biasa agar terhindar perselisihan dengan saudara-saudaranya.

Ibunya tak menginginkan terjadinya perebutan takhta dengan Sushima. “Kamu tak mau anak kamu menaiki takhta. Aku lakukan semua ini untuk kamu,” ujar Asoka yang juga ingin menghindari konflik memperebutkan takhta Magadha dengan Sushima dan saudara-saudara tirinya yang lain. Asoka pun pergi meninggalkan Magadha.

Namun, nasib ternyata membawanya lain. Dalam perjalanan ke luar kerajaannya, ia bertemu dengan seorang pertapa yang meramalkan tentang nasib dirinya dan perjalanan hidupnya.

“Nasib kau adalah lebih baik dari sang raja.” Maksud, ramalan pertapa terhadap diri dan kehidupannya itu adalah bahwa Asoka akan menjadi seorang raja yang lebih baik dari raja biasa, bisa menjadi raja dari segala raja, raja besar serta mengalami drama kehidupan yang besar pula.

Di tengah pengembaraannya itulah ia berjumpa dengan Kuurwakhi, yang disebutnya sebagai satriani Kalinga, perempuan satria dan kerajaan Kalinga. Mereka kemudian saling jatuh cinta, dan film pun – sebagaimana film-film India pada umumnya berhias dengan lagu-lagu percintaaan India yang khas dan intip-intipan dari balik pohon.

Di tengah-tengah danau dengan curahan air terjun, diantara pepohonan dalam pemandangan alam India yang menawan, diantara lekukan tubuh Kareena Kapoor yang indah dan tatapan mata Sharuk Khan yang tajam, kedua sejoli itu berkasih dan saling berjanji. Namun keadaan harus memisahkan mereka berdua.

Sebelum berpisah, Asoka sempat mengajarkan Kuurwakhi ilmu pedang. “Jadikanlah pedangmu bagian dari tubuhmu, maka penantian dan ketakutan akan tiada lagi,” bisik Asoka, diantara pipi Kuurwakhi yang memerah dan senyum kepedihannnya.

Cinta yang mempertemukan mereka, dan cinta jua yang memisahkan mereka. Kelak pada akhirnya dengan cinta pula kedua negeri mereka yang saling bertempur bersatu kembali.

Setelah Sushima terbunuh, dan mengingat keadaan kerajaan yang membutuhkan orang kuat seperti dirinya, maka endapan ambisi besar Asoka yang selama ini tersimpan akhirnya tak terhankan lagi.

Endapan berkuasa itu meletus bagai magma gunung berapi yang memuncratkan laharnya dan menjdikannya haus kekusaan. Melalui pedang pusakanya yang berkelabatan kesana kemari, ia mengalahkan musuh-musuhnya dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lainnya. Dan nasib pun seakan membawanya memenuhi ramalan kekeknya, setiap pedang keluar dari sarungnya pasti meminta darah, maupun ramalan sang pertapa untuk menjadi raja besar.

Seakan memang suratan nasih telah menggariskannya menjadi seorang raja besar yang ditakui melalui peperangan yang selalu meminta darah dari setiap pedangngnya yang keluar dari sarungnya, Asoka pun menjadi raja besar dan mendapat julukan Asoka yang durjana. Asoka durjana karena telah membunuh kakak-kakaknya, serta menaklukkan lawan-lawannya dalam berbagai pertempuran.

“Aku akan menjadi raja yang teragung di bumi ini. Lebih agung dari raja Bidursana dan lebih kuat dari Chandragupta Maurya.” Demikian ikrar Asoka dihadapan isterinya, Devi.

Isterinya yang sabar, penuh cinta namun berani itu pun berkata; “Ini cinta jenis apa yang hidup walau sudah mati. Kuurwakhi saja yang ada di hatimu. Luka cinta tak akan biarkan kamu hidup atau mati.”

Devi sadar, ambisi dan kebengisan Asoka itu muncul lantaran cintanya tak kesampaian dengan Kuurwakhi, atau sebagai kompensasi kehilangan Kuurwakhi – pewaris takhta Kalinga- yang disangkanya telah tewas dalam intrik politik pejabat istana Kalinga

Musuh Diri Sendiri

Raja Asoka dinilai sungguh luar biasa kejamnya. Bahkan orang-orang menyangsikan apakah dia itu manusia atau setan, karena Asoka berani membunuh orang yang tidak bersalah, dan sanggup melakukan apa saja untuk memenangkan perang. Berita tentang Kuurwakhi yang telah tewas diangkatnya menjadi sumber kekuatan untuk kematian bagi orang-orang yang ada disekelilingnya, terutama lawan-lawannya.

Isteri dan saudara-saudaranya, bahkan Vitar pengawal setianya menolak dan menghindari Asoka. Bahkan isterinya tak menghendaki anaknya menjadi seperti ayahnya. “Saya harap bila anakku membuka matanya dia tengok kasih sayang saja dan bukan kematian. Perkataan pertama yang dia dengar mestilah sesuatu yang manis, dan bukan pekikan dan raungan kesakitan.”

Devi, isterinya yang penyabar dan penuh kasih sayang dan tahu dirinya tak mendapatkan cinta Asoka, akhirnya meniggalkannya. Tiada lagi teman dekat dan setia di samping Asoka.

Vitar yang sudah berusaha mengembalikan Asoka ke jalan yang benar juga tidak sanggup dan harus dengan berat hati meniggalkan Asoka. Sebelum pergi, kepada Raja Besar Asoka yang telah mata gelap itu, Vitar mengatakan: “ Kamu bukan kawan siapa-siapa.”

Sedangkan adik Asoka sendiri Vitasoka yang penyair mengatakan: “Kau adalah musuh dirimu sendiri. Karena itulah kau dipanggil “durjana” Asoka. Aku beritahu, bahwa kau sudah jadi seroang ayah. Mahendara adalah anak lelaki kamu, dan Sanghamitra adalah anak perempuanmu. Kamu hanya seorang raja, bukan seorang ayah.”

Tapi Asoka tetap bersikeras menganggap dirinya sebagai raja besar, yang besar karena peperangan dan penaklukkan. Cinta telah tidak ada lagi dalam kamus hidupnya sejak panglima Kuurwakhi yang jealous kepadanya memberi tahu bahwa Kuurwakhi telah tewas dalam intrik istana Kalinga.

Yang tersisa dalam diri Asoka adalah kebalikannya dari cintanya yang besar, yakni ambisi yang besar untuk menjadi raja besar, sebagai kompensasi cinta besarnya yang dianggapnya telah hilang dan telah tak kembali.

“Kebenaran tidak akan berubah jika menukar pendirian. Perang adalah kebenaran. Dalam perang menang atau mati. Dan aku telah menang,” demikian Asoka berkilah dihadapan adiknya, Vitasoka.

“Ya, memang kau telah menang. Memenangi tangisan bayi, anak yatim dan mayat. Kau telah menang semuanya,” ucap Devi sesaat sebelum meninggalkannya.

Begitu pula ketika Asoka bertemu kembali dengan Kuurwakhi, satriani Kalinga – yang ternyata masih hidup – namun dalam keadaan berhadapan satu sama lain di medan perang yang bau amis mayat, Kuurwakhi menyatakan. “Kau telah jatuh diatas kekayaan, kuda yang cantik dan kuat. Kau tidak menang. Aku tidak akan benarkan kau menang.”

Di antara temaram senja yang datang, di saat-saat matahari akan terbenam, dan denting suara mantram para bhiksu yang sedang menyucikan mayat-mayat korban pertempuran yang berserakan di medan lagi, serta di dalam dekapan cinta dan kerinduan terhadap Kuurwakhi, akhirnya Raja besar gagah berani yang telah menaklukkan ribuan musuh dalam berbagai medan laga itu pun merintih.

“Aku telah menjadi raja yang teragung. Pemerintah yang terkuat. Aku telah memenangi semuanya. Aku juga telah hancurkan semuanya. Apa yang seseorang raja boleh memenangi? Cuma kekayaan, tanah dan negara.

Nasib aku melebihi kemauan seorang raja. Nasib aku adalah seorang pengembara. Yang telah tamatkan destinasinya. Dan hari ini aku mutlakkan peneguhan perjalanan kasih sayang yang aman dan tenteram.” Kemudiaan Asoka pun melemparkan pedang pusakanya. (Jo Priastana).

***

RAJA DHARMA ASOKA

Asoka telah menjalani nasibnya sebagai raja besar melalui berbagai peperangan. Peperangan sebagai kompensasi cintanya yang tak terwujud terhadap seorang perempuan satria. Namun ketika cinta itu diketemukannya kembali, Raja itu kembali menjadi besar, bukan besar karena peperangan, tapi sebaliknya besar karena kasihnya.

Asoka telah belajar dari peperangan dan pertempuran yang dijalaninya, serta dari kekuatan cinta kasih. Bahwa kekerasan dan kekerasan adalah lantaran tak ada cinta dihati seseorang. Ketika cinta itu datang, maka kekerasan pun sirna. Memang semua membutuhkan cinta dan cinta pula yang menyembuhkan semua.

Daisakaku Ikeda dalam bukunya, “Buddhism, The First Millenium,” (1977), menilai Raja Asoka memainkan peranan menentukan dalam penyebaran Buddhisme yang penuh kasih sayang. Ia telah berubah dari penaklukkan melalui pedang, menjadi penyebar cinta kasih melalui Buddhadharma. Kerajaan Maurya yang diperintahnya meliputi seluruh India, masuk ke Sri Lanka dan negara-negara Yunani. Kabarnya pada masa Asoka ini banyak pula bhiksu-bhiksu India yang masuk ke Yunani.

Tidak jauh berbeda dengan Ikeda, sejarahwan dunia HG Wells menyatakan “salah seorang penguasa yang terbesar yang pernah dilihat dunia.” Asoka adalah raja pertama yang menghapuskan perang. Ia memberlakukan politik pasifisme (politik perdamaian) mutlak berdasarkan cita-cita Buddhisme dan mengadakan tindakan-tindakan tegas untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan warga negaranya.

Raja yang pernah menghancurkan kehidupan ini akhirnya menjadi raja yang mendorong kehidupann. Asoka yang beriman Buddhis ini meniadakan pembunuhan atas makhluk hidup dan mengambil kebijakan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Asoka menganjurkan untuk menanam pepohonan sepanjang jalan, menggali sumur-sumur dengan jarak- tertentu, mendirikan rumah-rumah istirahat bagi para musafir, serta membagikan jamu dan obat-obatan kepada warganya.

Raja Asoka naik takhta sekitar tahun 268 SM. Tujuh tahun setelah naik takhta, Asoka memeluk agama Buddha. Dalam tahun kesembilan pemerintahannya, ia menyerang Kalinga, membunuh sekitar seratus ribu orang. Setelah melihat penderitaan dan kematian dari perang tersebut, Asoka mengalami kesedihan yang mendalam. Maka, ia pun berikrar tidak akan berperang lagi.

Sebelum ikrarnya itu berkumandang, Asoka dikenal sebagai raja yang kejam. Sebelum naik takhta saja ia telah membunuh sembilann puluh sembilan kerabat pria, dan setelah penobatannya ia melenyapkan lima ratus pejabat tinggi. Sesudah serbuannya ke Kalinga, pemerintahannya yang berdasarkan kekuasaan kekuatan disingkirkannya dan diganti dengan peraturan berdasarkan dharma.

Sejak itulah sebutan kepada dirinya beralih dari sang raja terkenal sebagai “Asoka Durjana“ berarti menjadi “Asoka pendukung Dharma.”

Dinasti Maurya didirikan oleh Chandragupta, kakek Asoka. Pada tahun 327 SM Iskandar Agung menyerbu India, tetapi pasukannya dapat dipukul oleh Chandragupta. Bindusara, putra Chandagupta menggantikannya sebagai penguasa.

Bindusara termashur karena mempunyai enam belas isteri dan sebagai hasilnya adalah Asoka yang konon mempunyai 101 saudara. Setelah menjadi penganut Buddha, Asoka semakin percaya memiliki kemampuan memerintah melalui Dharma.

Pasifisme dan Toleransi

Sejarah akhirnya mencatat Asoka menjadi raja terbesar dalam seluruh jagad India. Karena itulah negara India sekarang telah memilih lambang untuk cap resmi: tonggak kepada bermahkota singa, yang diambil dari salah satu tonggak yang didirikan oleh Raja Asoka.

Asoka mengamalkan politik pasifisme mutlak, dan menganggap semua orang yang terdiri dari beragam suku-suku yang terdapat di India itu adalah putranya. Sebagai penganut Buddhisme yang bersemangat, ia tidak melakukan penindasaan terhadap golongan agama lainnya. Sebaliknya, ia meberi bantuan dan semangat yang positif bagi berbagai golongan itu. Sebagai kepala negara besar, Asoka mendasarkan tindakan-tindakannya pada jiwa cinta kasih Asoka menerjemahkan jiwa Buddhisme ke dalam kebijaksanaan pemerintahannya.

Namun dalam melaksanakannya, dia tidak mencoba memaksakan cita-cita Buddhisme kepada khlalayak ramai sebagai dogma agama yang harus dipeluk. Sebaliknya dia menyajikan cita-cita dharma, kebenaran atau jalan kebajikan yang dapat dipahami secara mudah melalui kenyataan manusiawi.

Konsep-konsep kunci Dharma sebagaimana diungkapkan dalam kebijaksanaannya merupakan cita-cita universal berupa pasifisme mutlak dan rasa hormat terhadap kehidupan. Sebuah cita-cita yang dapat diterima oleh orang-orang Buddhis maupun non-Buddhis.

Semasa pemerintahannya, Asoka mendirikan 84.000 ribu vihara dan 84.000 ribu stupa untuk menyucikan peninggalan-peninggalan Sang Buddha. Ia juga berziarah ke tempat-tempat suci Buddha. Selama pemerintahannya, untuk pertama kali Buddhisme menjadi salah satu di antara agama-agama nasional di India.

Asoka juga mengutus beberapa rombongan bhiksu Buddhis ke berbagai daerah, seperti putranya sendiri, pangeran Mahinda ke Sri Lanka, yang menjadikan menjadi negeri di sebelah selatan India itu menjadi sumber Buddhisme Theravada yang berperangaruh di Asia Tenggah.

Raja Asoka bertakhta secara keseluruhan sampai 37 tahun lamanya. Kabarnya ia juga menolak menyebut dirinya dengan gelar “Maharaja” atau “Kaisar,” dan sebaliknya lebih suka membayangkan diruinya sebagai “Raja Magadha.” Diantara berbagai tindakan politik pasifismenya itu, adalah sebuah stupa atau tonggak toleransi besar dunia. Sebuah tonggak yang sangat terasa relevansinya dalam kehidupan globalisasi saat ini yang sarat dengan peperangan.

Piagam toleransi yang juga disebut “Piagam Piyadassi” itu berbunyi:

“Dalam memberikan penghormatan kepada agamanya sendiri, janganlah sekali-kali mencemohkan atau menghina agama-agama lainnya. Dengan berbuat demikian selain membuat agamanya sendiri berkembang, juga akan memberikan bantuan kepada agama-agama lainnya. Jika berbuat kebalikannya, maka berarti menggali lubang kubur untuk agamanya sendiri disamping mencelakakan agama lain. Barang siapa menghormati agamanya sendiri, tetapi menghina agama lainnya dengan berpikir bahwa berbuat demikian adalah telah melakukan sesuatu yang baik sebagai pemeluk agama yang taat, maka ini malah akan berakibat sebaliknya, yaitu akan memukul kepada agamanya sendiri.” (Jo Priastana).

***

Posted in Film | Leave a Comment »

ANGULIMALA

Posted by yasodhara on February 10, 2009

KETIKA SEORANG ANAK

TIDAK DIHARAPKAN KEHADIRANNYA

Film yang mengisahkan salah satu kejayaan Sang Buddha dalam mengajarkan Dhamma dalam hal ini penaklukkan seorang yang memiliki kekuatan luar biasa dalam menerapkan ideology keliru yang diyakininya, Angulimala Sang Pembunuh. Belajar dari kisah hidup Angulimala, sebuah kisah nyata semasa hidup Sang Buddha adalah suatu pembelajaran tentang suatu jalan hidup yang kerap terjadi pada banyak orang mengenai anggapan tentang kebenaran akan segala sesuatu yang dijalaninya.

Riwayat hidup Angulimala sesungguhnya adalah cermin dari perjalanan hidup seorang yang mencari kebenaran namun berada di tempat dan lingkungan yang tidak tepat. Kelahirannya yang merupakan suatu berkah nanum terasa mendapat beban kutukan kegelapan, kejahatan tumbuh bagi kejahatan selanjutnya. Angulima adalah anak yang lahir yang tidak diharapkan oleh orang tuanya, bahkan ayahnya bertindak untuk mengenyahkannya, namun raja yang baik berhasil menyelamatkan dan membuangnya.

Ideologi

Dari awal ini saja, secara psikologis kita akan bertanya, bagaimanakah pertumbuhan kejiwaan seoraang anak yang sejak lahirnya merasa tertolak tidak dibutuhkan dan tidak diharapkan hadir ke dunia? Sebuah pertanyaan pembelajaran yang sangat baik dan penting bagi para calon orang tua yang akan mempersembahkan buah-buah nafsu atau cinta kasihnya dalam wujud manusia, mengingat betapa luar biasanya fenomena penelantaran janin-janin dalam kehidupan dewasa ini.

Angulimala muda, sebagaimana juga manusia dan para pemuda lainnya, adalah sosok manusia yang haus akan kebenaran, pengetahuan tentang kehidupan, kebijakan dharma. Apalagi tradisi dan budaya India pada masa itu dimana paham tentang samsara yangt menyertai kehidupan ini memang begitu kental dan tertanam dalam setiap penduduknya, diantara tumbuhnya jalan kelamatan berupa pandangan-pandangan ekstrim, seperti jalan kekerasan atau jalan kemanjaan, asketisme ekstrim, ritualisme ataupun materialisme hedonisme.

Siapa yang tidak mau lepas dari samsara, jantera hidup menderita lahir berulang? Siapa yang tidak mau menemukan kebijakan Dharma? Semuanya pasti akan mencarinya, menemukan air kehidupan keabadian, termasuk Angulimala yang belajar dan berguru ke Taxila, sebuah pusat rujukan yang menyediakan ragam ideology surga bagi pencahari kebenaran pada masa itu.

Tapi, kenapa Angulimala ditakdirkan atau menjalani beban karma buruk terlibat dalam pembunuhan, dari pembunuhan satu ke pembunuhan berikutnya. Adakah suatu pandangan hidup atau keyakinan kebenaran itu jauh mengatasi rasa kemanusiaan dan belas kasihan?

Pembunuh

Merasuk ke dalam suatu ideology dan menjadikan ideology itu tumbuh keras dalam diri apalagi bersentuhan dengan naluri-naluri negatif yang latent bersemayam serta pengalaman hidup yang ditemuinya, maka muncullah Angulimala menjadi sosok pembunuh yang luar biasa, pembunuhan satu demi satu diatas dasar kebenaran keyakinannya. Apakah fenomena ini juga kerap tidak dijumpai dalam kehidupan sekarang ini, atau juga dalam kehidupan kita sendiri, bersemayam dalam diri kita sendiri menunggu kesempatan dan sentuhan untuk tumbuh?

Ada sisi kemanusiaan, kasih sayang dan cinta kasih sejak Angulimala kecil Angulimala sang penggembala kambing yang tidak mau terjadi pembantaian atas kambing-kambingnya. Namun memperoleh guru dan lingkungan yang keliru yang nyatanya dapat menjadikannya dia sosok yang lain, melahirkannya sebagai pembunuh yang haus akan darah, dan diprogram menjadi pembunuh dan menyelami hakekat sejati penjahat.

Gurunya berkata: “Ingat selalu kalau semua penjahat dapat menyakiti siapa pun juga, siapa saja termasuk orang tua sekalipun.” Dan Angulimala sang pencahari kebenaran itu pun terhipnotis kata-kata gurunya ini. Jadilah dia sang pembunuh, pembunuhan diatas pembunuhan, satu demi satu jari-jari mangsanya menghias jenjang lehernya, hingga akhirnya setelah mencapai 999 jari hanya ada satu yang tersisa ibunya sendiri.

Ketika tasbihnya yang mengalungi jenjang lehernya yang terangkai dari jari-jari korbannya sudah tidak cukup lagi menampugnya, Angulimala yang berarti tasbih yang terbuat dari jari-jari tangan manusia, mulai meragukan ideology yang diyakininya yang melandasi tindakannya selama ini bahwa membunuh dan melakukan kekerasan adalah jalan untuk pembebasan makhluk sebagaimana yang mungkin juga menjadi ideology para teroris masa kini, maka ketika benih kemanusiaan, benih kebenaran sejati itu menyelusup naik ke permukaan batin, sang pembebas yang sesungguhnya pun datang.

Berhenti

Ketika batin murid telah siap guru pun pasti datang, ketika benih-benih kebuddhaan itu tumbuh semarak, maka hanya diperlukan sentuhan perlahan untuk memunculkannya tumbuh mekar memberi harum. Maka ketika mengejar Sang Buddha yang tak terkejar-kejar, Sang pembunuh ini pun berujar: “Bhante berhentilah, berhenti,” Sang Buddha menjawab, “Aku sudah berhenti Angulimala, kamulah yang harus berhenti sekarang.”

Melalui sedikit diskusi mengenai pembebasan, ketidakkekalan, ketanpaintian, ketidakmelekatan, pikiran suci yang tidak kekal, sang pembunuh yang selama ini merasa sang pembebas penderitaan bagi korban-korbannya itu akhirnya sungguh-sungguh berhenti. Anak yang kelahirannya ditolak itu, yang merasa dilahirkan untuk penderitaan, akhirnya menyelami makna penderitaan yang sesungguhnya.

Angulimala menyadari bahwa semua hal adalah tapa aku, tak ada garis perbedaan antara kau dan aku, bagai air hujan yang jatuh dari langit yang sama dan mengalir ke kubangan yang sama. Dalam Dhamma Sang Bhagava menuntun kita kedalam kebenaran sejati, melepaskan diri dari keegoan dan pandangan salah, dan hanya dengan pencerahan seseorang dapat hidup tanpa penderitaan mengalami nibbana, dan sekarang semua harus berhenti. (Jo Priastana).

Film: Angulimala

Pemain: Nopachai Jayanama, Stella Malucchi, John Rattana Veroj

Produksi: Film Bangkok Presents A Chalermthai Studio

Sutradara: Sutape Tumirut

Posted in Film | Leave a Comment »

THE LIFE OF BUDDHA

Posted by yasodhara on February 10, 2009

DIA YANG TELAH BANGKIT

DAN HADIR DI DUNIA

Film The Life of Buddha, menjajikan tentang Kisah Hidup Buddha dengan segenap beragam peristiwanya yang merupakan kisah tokoh terbesar sepanjang masa. Sang Buddha sosok pencahari kebenaran yang berhasil mencapai cita-citanya, 2552 tahun lalu di India.

Namun begitu tetap saja ada keraguan terhadap keberadaan Buddha secara historis ini. Apakah sosok Buddha itu sendiri sungguh ada, hadir di dunia dan hidup di-tengah-tengan manusia secara historis. Dikatakan bahwa sejak 100 tahun lalu saja kehidupan Buddha masih belum dikenal di dunia Barat.

Bahkan, E. Snart (1875) misalnya menyatakan bahwa kisah Buddha Gautama sebenarnya adalah suatu mite atas matahari, dan pada kisah Buddha Gautama itu tiada suatu pun yang secara histories benar-benar ada, Buddha sebenarnya tidak pernah ada. (Harun Hadiwijono, “Agama Hindu dan Buddha,” 1971).

Meski begitu, tampaknya, hanya segelintir ahli saja yang meragukan keberadaannya. Pada umumnya banyak para ahli lainnya berpendapat lain. H.Oldenberg (1881) dan H. Kern, diantarnya menegaskan bahwa keberadaan Buddha memang sungguh dan pernah ada secara historis, hadir di dunia.

Nah, film The Life of Buddha produksi BBC ini seakan keluar dalam rangka memastikan keberadaan Buddha secara historis itu dengan mengetengahkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang dihasilkan dari sejumlah penelitian arkeologis. Film berdurasi sekitar satu jam inipun berputar meneguhkan keberadaan Buddha yang memang nyatanya sungguh-sungguh pernah hadir dan hidup di dunia ini.

Historis-Arkeologis

Di tanah kelahirannya sendiri, India yang pernah mengalami penjajahan Inggris agama Buddha memang nyaris mati karena dihancurkan oleh raja-raja yang datang silih berganti. Baru setelah para arkeologis Inggris mulai menjelajah India Utara dan penemuan mereka yang menyatakan Buddha memang ada sebagai fakta sejarah, penelitian dan kemunculan Buddhadharma di tahun-tahun berikutnya semakin menggema.

Pada tahun 1860 para arkeolog mulai mencoba dan mengidentifikasi tempat-tempat yang berkaitan dengan Buddha, dan di tahun 1890 bersamaan dengan identifikasi di area sungai Gangga, terjadi penemuan situs Lumbini, tempat kelahiran Siddharta, dan kota Kapilavastu tempat Siddharta menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya.

Selanjutnya dipaparkan sejumalh fakta yang semakin memastikan keberadaanya, seperti penemuan sebuah pilar di suatu desa terpencil di perbatasan Nepal yang menyingkap kisah asal Buddha, yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai ekspedisi Inggris untuk menyingkap kandungan prasasati yang bertuliskan aksara purba dan berdiale India Utara.

Prasasti itu menyingkap bahwa disinilah Buddha telah lahir, dan sekaligus menjadi bukti pertama yang menegaskan bahwa Buddha adalah bukan tokoh legenda namun sungguh-sungguh benar-benar ada secara histories dan hadir di dunia, hidup di tengah-tengah manusia, lahir, hidup dan mati bagai manusia lainnya.

Buddha sungguh benar-benar ada. Teks Buddha kuno menamai tempat kelahiran Buddha sebagai Lumbini. Selanjutya penelitian arkeologis itu juga menemukan kota purba yang dalam teks disebut Kapilavastu tempat masa kanak-kanak Buddha, yang terletak 10-15 km sebelah Barat Lumbini. Di sanalah pencarian mulai ditingkatkan.

Ekspedisi menyingkap dua kemungkinan situs Kapilavastu. satu di India dan lainnya di Nepal. Selama 100 tahun arkeolog berdebat soal itu. Pencarian terbaru Dr. Coningham dan timnya menunjukkan kota purba itu terletak di kota Tilaurakot di Nepal, sebuah tempat yang amat menarik karena masih sangat utuh, dimana di tengahnya terdapat istana.

Di sinilah kisah Buddha dimulai, dan film pun memaparkan kisah hidup Buddha lengkap dengan diskusi pencapaian kebuddhaannya dan komentar-komentar sejumlah ahli maupun para Bhikhu, diantaranya His Holliness Dalai Lama.

The Buddha

Meski hanya sebuah film yang merupakan bayang-bayang menyajikan rentetan gambar, film ini menyajikan keterangan yang bersumber pada penelitian arekologis yang pernah dilakukan terhadap keberadaan Buddha. Namun begitu, film The Life Buddha sendiri tidaklah jatuh hanya menjadi sebuah film apologis tentang keberadaan Buddha secara historis, tetapi juga kaya dengan pemaparan kandungan spiritual- filosofis dan kebijaksanaan Buddhadharma itu sendiri.

Selain itu gambaran Siddharta Muda itu sendiri sebagai sosok pencahari kebenaran lengkap dengan semangat perjuangannya, renungannya dan diskusi teknik-teknik pencapaian cita-citanya dalam meditasi sungguh menarik dan mencerdaskan. Pemaparan yang kisah Buddha secara filmis itu mengajak kita untuk sungguh-sungguh menikmati serta hanyut dalam kisah Sang Penemu Kebenaran itu sendiri dan bahkan menjadikan kita merasakan sebagai pencahari kebenaran dengan tanpa beban dogmatis.

Film pun berkisah tentang the real life of Buddha, bahwa Buddha itu memang sungguh real, ada dalam sejarah, hadir di dunia, sebagai pangeran, pertapa dan kemudian menjadi Buddha, sebagaimana yang tertera dalam banyak buku sejarah tentang Buddha.

Dia menjadi Buddha, atau orang yang telah bangkit yang diperoleh di bawah pohon Bodhi 2552 tahun lalu. Lalu ia pun menyimpulkan hikmahnya dalam 4 kebenaran agung, yang merupakan fondasi bagi keyakinan agama Buddha.

Ada kesengsaraan dalam hidup. Dia mendiagnosa penyebabnya yaitu keinginan. Seperti dokter Buddha menyatakan bahwa ada kesembuhan bagi keinginan, dan keempat ia memberi resepnya, bagaimana menyembuhkan penyakit dan mencapai nirvana. Tujuannya adalah mencapai keadaan pikiran yang bebas dari keinginan, ketidakpedulian, kerakusan, kebencian dan khayalan, nirvana yang diimpikan dan diidamkan umat manusia.

Moralitas, meditasi, dan kebijaksanaann adalah jalan-jalan yang diterakan yang dapat dianggap sebagai batu loncatan untuk pencerahan, untuk terbebas, bebas dari ruang dan waktu dan tidak kembali lahir lagi. Setelah pencapaian Buddha-nya, ia persembahkan hidupnya membantu orang lain untuk ikut dalam jejaknya menuju kebebasan dari penderitaan. Dan begitu pengikutnya bertambah ia pun mendirikan Sangha, komunitas pejalan kesucian yang terbuka bagi segala kalangan dan kasta, serta mencerminkan kesetaraan gender karena terbuka tidak hanya untuk lelaki namun juga perempuan.

Para rahib ini dalam sejarah perjalanan Buddhadharma selama 2552 tahun telah menjadi perpustakaan hidup bagi ajaran Buddha yang mempraktekkan ajaran-ajarannya. Salah satu siswanya yang terkemuka saat ini, Hiss Holliness Dalai Lama dalam film The Life of Buddha produksi BBC ini, juga turut memberi komentarnya tentang Buddha, bahwa Buddha adalah symbol perdamaian, symbol kebaikan, dan symbol non-kekerasan.

Telah 2552 tahun Buddha yang maha sempurna berlalu. Beliau melabuhkan jasadnya yang tidak kekal di Kusininara, diantara dua pohon Sala kembar. Apakah tokoh sempurna ini, tokoh superman ini juga akan dikenang sebagai manusia untuk menambah kekuatan pada pesan-pesannya. Jawabnya, bisa jadi Buddha pun ingin diingat sebagai manusia.

Mengapa? Karena dengan begitu menjadikan dia begitu dekat, begitu akrab, terus hadir di dunia ini, di hati kita. Seperti rupangnya yang menghias altar di rumah kita semua, dia selalu memancarkan senyum kedamaiannya yang senantiasa merekah di bibir kita semua. Buddha memang begitu dekat, bagai api dengan lilinnya, dia api yang bernyala dalam lilin tubuh kita! (Jo Priastana).

Judul Film: The Life Of Buddha

Narrator: Ali Ballantyne

Pemain: Rahul Kishore Tiwari (The Buddha),

Denzil Smith (King Suddhodana)

Location Fasilities Creative Options, Mumbai,

Designer: Rashid Rangrez

Ist Assistant Director: Shaan Khattau

Line Producer: Yashin Jain

Camera: Steve Robinson

Edited By: Gregers Sall

Associate Producer: Toby Follet

Executive Producer: Tessa Livingstone

Directed by: Clive Maltby

A BBC/Discovery Channel Co-Production

BBC MM III

***

Posted in Film | Leave a Comment »