Yasodhara Puteri

Mencerdaskan…Mencerahkan….

SEJARAH AGAMA BUDDHA DI MYANMAR

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Beribukota Naypyidaw yang diresmikan pada 6 November 2005 oleh pemerintahan junta militer sebagai pengganti ibukota sebelumnya Yangon, negara Myanmar yang dahulu bernama Burma memiliki komposisi penduduk terbesar 89% beragama Buddha dan etnis Burma sebesar 68%. Mayoritas penduduk ini hidup berdampingan dengan etnis lainnya Shan (9%), Kayin (7%), Rakhine (4%), Mon (2%), Kayah dan Kachin, dan penganut agama Kristen (4%), Islam (4%), dan lainnya (3%). (Kompas, 11/10/07).

Karena itu, negara dengan jumlah penduduk 48.798.000 jiwa (Juli 2007) yang memiliki pagoda Swedagon yang menjulang di kota Yangon sebagai identitas nasional Burma dapat dikatakan sebagai negara Buddhis terbesar di Asia Tenggara, berdampingan dengan negeri tetangganya yang juga berpenduduk mayoritas Buddhis seperti Laos, Thailand, China. Kini para bhiksu yang berakar dalam masyarakatnya itu tengah berhadapan dengan penguasa negerinya sendiri yang mengerahkan para serdadunya mengobrak-abrik vihara.

Diperkirakan negara yang dikenal juga sebagai negara seribu pagoda ini memiliki puluhan ribu bhiksu/bhikkhu yang mendiami puluhan ribu vihara-vihara pada negara seluas 676.578 km2 yang memikiki perbatasan darat dengan Thailand, China, India, Laos dan berhadapan dengan Samudera Hindia. Para bhiksu/bhikkhu di Myanmar yang belum lama ini pada September 2007 lalu melakukan aksi perlawanan secara damai terhadap junta militer merupakan strata social yang sejak dahulu kala memiliki pengaruh luas dan telah berakar jauh dalam masyarakat Myanmar.

Sejarah kehidupan kebhiksuan di Myanmar ini juga tak lepas dari negeri Srilanka yang menjadi sumber dari mana pergerakan agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara, khususnya agama Buddha bermashab Theravada. Dalam buku Edward Gonze, “A Short History Buddhism,” Allen and Unwin, London-Boston, 1980, terungkap bahwa agama Buddha telah masuk ke Burma sejak abad ke 5 dan abad ke 6, baik agama Buddha Theravada maupun agama Buddha Mahayana.

Namun jauh sebelumnya, dikabarkan pula bahwa negeri yang terkenal dengan sebutan Suvannabhumi ini jauh sebelumnya di sekitar abad ke 3 SM telah memiliki kontak dengan sekelompok pedagang dari Jambudipa, sebutan untuk negeri India. Menurut sumber sejarah seperti yang terdapat dalam Mahavamsa, disebutkan bahwa pada abad ke SM itu terdapat dua orang bhikkhu dari India yang bernama Sona dan Uttara menyebarkan Dhamma ke negeri Suvannabhumi.

Sedangkan adanya suatu organisasi yang kuat bagi pejalan kebhikkhuan di Myanmar itu sendiri baru terbentuk pada abad 9, yaitu yang menamakan dirinya “Ari” (dari kata arya yang berarti mulia). Dikabarkan agama Buddha yang ada itu adalah agama Buddha Pala yang berasal dari Bihar, India dan Bengal yang bermashab Mahayana dan juga menyerap kepercayaan setempat. Baru awal periode tahun 1000 agama Buddha di Burma ini berubah karakternya dengan mengambil inspirasi pada Buddha yang berasal dari Srilanka, yang diprakarsai oleh Raja Anawrahta dari Pagan di tahun 1057 yang mendatangkan bhiksu-bhiksu dan kitab suci dari Ceylon, Srilanka.

Sejak itulah kelompok bhiksu Mahayana dan juga Vajrayana memudar pengaruh dan dominasinya, meski keberadaannya tidak lenyap bahkan hidup terus sampai akhir abad 18. Kehidupan kebhikkhuan beralih kepada mashab Theravada yang mendapat perlindungan istana, sehingga tumbuhlah kebudayaan Buddhis dengan peninggalannya yang sangat bagus dan indah.

Semasa kekuasaan Narapatisithu (1173-1210) banyak vihara dibangun dibawah para sponsor seperti Sulamani, Gawdawpalin juga untuk penulisan kitab suci Pali. Chapata yang juga dikenal sebagai Saddhammajotipala menulis suatu seri karya mengenai tata bahasa Pali, disiplin vinaya dan filsafat seperti: Suttanidesa, sankhepavannana, Abhidhammatthasangha. Sementara pujangga lainnya yang bernama Sariputra menulis karya yang merupakan koleksi pertama mengenai komposisi hukum kesunyataan yang dikenal sebagai Dhammavilasa atau Dhammathat.

Kebudayaan Buddhis yang tumbuh semarak pada masa itu dikabarkan tercermin dengan tumbuhnya 9000 ribu pagoda dan vihara yang memenuhi tanah seluas delapan mil, diantaranya yang paling terkenal adalah Vihara Ananda dari abad ke 11. Dalam Vihara ini terdapat 547 cerita Jataka yang dikisahkan di atas tanda peringatan atau piagam yang dibuat dari lapisan kaca. Hal ini berlangsung selama tiga abad sebelum kekuasaan Pagan itu dihancurkan oleh Bangsa Mongol pada tahun 1287.

Meski, setelah runtuhnya dinasti Pagan ini, dan selama 500 tahun ke depan Burma terbagi-bagi dalam kerajaan-kerajaan yang saling berperang, namun tradisi Theravada tetap berlanjut walau tidak semerbak periode sebelumnya, bahkan raja Dhammaceti dari Pegu di akhir abad 15 memperkenalkan kembali pergantian pimpinan vihara yang sesuai kitab suci dari Ceylon.

Pada tahun 1752, Burma mengalami penyatuan kembali, dan setelah tahun 1852 Sangha memperoleh perlindungan, dan sebuah dewan di Mandalay memperbaiki teks Tipitaka pada tahun 1868-71 yang kemudian diukir di atas 729 lempengan pualam. Namun, kedatangan kolonial Inggrias di tahun 1885 sangat merugikan perkembangan agama Buddha dan Sangha karena mereka banyak menghancurkan tempat-tempat suci, dan sejak itu pula para bhiksu memainkan peranan penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Sangha yang merupakan komunitas bhiksu tidaklah asing bagi rakyat Burma. Rakyat disamping masih memiliki kepercayaan leluhurnya yakni para Nat atau “roh” yang diminta menolong mereka juga memiliki kepercayaan tentang cara utama untuk memperoleh kebajikan yaitu dengan membangun pagoda atau vihara. Bisa dimengerti bila Burma memiliki banyak pagoda, dan vihara-vihara selalu berada di pusat-pusat tempat tinggal mereka, dimana vihara-vihara itu juga berfungsi sebagai tempat pendidikan tempat rakyat melek huruf.

Bersama Sangha yang mendapat tenpat di hati rakyat, agama Buddha menjadi kekuatan yang memberikan karakteristik peradaban Burma. Sesungguhnya, agama Buddha yang dibabarkan oleh Sang Buddha ini sepanjang sejarahnya telah memicu kehidupan social yang demokratis dan non-materialistis bagi bangsa Burma, disamping membawa keindahan pengetahuan, etika kehidupan yang menekankan kesederhanaan yang semuanya itu merupakan sumber nilai untuk terciptanya perdamaian dan kebahagiaan.

Namun, melihat perkembangannya yang ada kini, dan juga jaman yang bergerak cepat, rupanya persoalan Burma atau Myanmar kini, hubungan antara agama dan negara, antara komunitas Sangha dan para pemimpin pemerintahan tidaklah sesederhana sebagaimana nilai-nilai nan indah itu dikumandangkan. Sewaktu U Nu berkuasa, U Nu berupaya menghidupkan kembali Buddhisme seperti semasa kerajaan yang jaya dulu, namun U Nu tidak dapat bertahan lama dan Burma pun terbelenggu masuk dalam genggaman dictator militer yang kaku dan membosankan.

Kini ditengah tantangan kehidupan bangsanya yang berada dibawah kendali junta militer, para bhiksu yang telah membudaya itu tetap berupaya melakukan reposisinya dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga kehidupan masyarakatnya. Para bhiksu dipaksa jaman dan terpaksa harus menghadapi tantangan social politis yang terbentang keras itu dengan bangkit dan bergerak ke jalan dalam dami demi mewujudkan nilai-nilai buddhadharma tetap berakar dan demi tetap berada di hati rakyat yang sepanjang sejarah menjadi pendukung sejati jalan kesuciannya. (jo priastana).

Posted in Sejarah | Leave a Comment »

SANG BUDDHA

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Oleh Jo Priastana

2552 tahun yang lalu seorang pangeran muda berkelana sebagai pertapa menempuh derita dan sengsara untuk mencapai nirvana, puncak kebahagiaan abadi yang yang menjadi dambaan dan impian semua umat manusia. Di bawah pohon Bodhi, di Bodh Gaya, pertapa muda yang bernama Siddharta Gautama itu mencapai pencerahan sempurnanya menjadi Buddha dalam naungan alam yang menyambutnya penuh suka cita.

Dia adalah Buddha, anak yang besar di lingkungan istana dikelilingi oleh segenap kemewahan., kesedapan hidup duniawi, istana yang megah serta tersedianya kekuasaan memerintah. Namun, semuanya ini ia tinggalkan hanya untuk mendapatkan kebijaksanaan tertinggi, mencari obat derita umat manusia, resep kebahagiaan bagi semesta.

Ia pergi mengembara menapaki koridor yang paling gelap dari pikirannya, pikiran yang juga bersemayam di hati umat manusia, untuk akhirnya berhadapan secara langsung dengan Mara, pemimpin utama para setan jelmaan sifat-sifat buruk yang ada di hati manusia. Ia berhasil mengatasi Mara, mencapai pencerahan dan kemudian mendirikan Buddha Sasana, sebagai agama dunia pertama pada masa itu, yang kini memiliki lebih dari 400 juta pengikut di seluruh dunia.

Buddha Sasana

Buddha Sasana, sebuah agama dimana meditasi dipergunakan dan dipraktekkan secara utuh untuk mencapai perdamaian dan kebahagiaan. Sebuah agama dimana moralitas ditegakkan dan memaklumatkan bahwa pembebasan bukan datang dari luar diri manusia namun justru dari perkembangan potensi luhur manusia itu sendiri, bahwa setiap orang siapa saja dapat mencapainya, samyak-sambodhi, pencerahan sempurna sebagaimana dinyatakan Dalai Lama: “Potensi kita sendiri, usaha sendiri untuk mengetahui realitas utama.”

Ajaran Buddha berkembang ke manca-negara diterima dan diadopsi atau diadaptasi berbagai budaya dan juga tertimpakan oleh banyak penafsiran, membangun banyak tradisi dan karena itulah, Buddhadharma yang diajarkannya itu menjadi subur hidup di berbagai belahan dunia dimana saja pada siapa saja, dan telah menggglobal pada masanya.

Ajaran Buddha yang mengumandangkan tentang ketenangan dan kejernihan tertinggi ini dapat dipandang dari berbagai segi dan bisa dapat dianggap sebagai apa pun juga, seakan memang ada 84.000 cara untuk mendekatinya. Orang bahkan bisa saja menganggapnya bukan agama atau mungkin hanya semata sebagai pedoman atau pandangan hidup, atau barangkali sebagai sekedar filosofi yang menawarkan kejernihan berlogika dan sekaligus mengatasi cara-cara pikir logis.

Atau bahkan dianggap hanya sekedar sebagai sebuah psikoterapi dimana orang menemukan kedamaian dan ketenangan bersamanya, dimana psikologi menjadi agama alternatif bagi banyak orang. Sebuah agama yang bercirikan kekuatan terapis untuk mengatasi masalah kehidupan dan mudah dilakukan oleh banyak orang dan sungguh terasakan manfaatnya bagi tumbuhnya pemahaman mengenai hakekat kehidupan dan kebahagiaan .

Buddha dan ajarannya memang begitu luar biasa. Sebagian orang bisa juga menganggap agama Buddha bukan agama namun agama sebagai ilmu pengetahuan pikiran, dan pesannya masih tetap relevan saat ini seperti 2500 tahun lalu karena memang menyentuh hakikat dasar dari manusia itu sendiri. Buddhadharma memiliki daya tarik tersendiri dan populer, karena menyentuh hal-hal penting yang amat besar dan mendasar dari kehidupan umat manusia.

Bahwa Buddha menemukan realitas dan kebenaran yang disebutnya sebagai ke-Sunyata-an, ciri dari fenomena semesta. Bahwa penderitaan itu adalah realitas dari kehidupan manusia dan yang menjadi ciri dasar dari eksistensinya. Bahwa perubahan itu adalah ciri utama dalam semesta dan jalannya kehidupan ini, dan bahwa setiap fenomena tidak memiliki dasar untuk berdiri sendiri dalam keisolasiannya namun mewujudkan keberadaannya dalam saling ketergantungan, saling inter-koneksi, dimana kasih sayang itu akan terasakan keberadaannya untuk berkuasa.

Pesannya yang kuat bahwa manusia memiliki potensi luhur untuk menggapai apa saja dan bahkan menjadi Buddha menyajikan suatu pandangan yang optimistic dan penghargaan luar biasa pada kemampuan manusia. Sebagaimana dengan ajaran utamanya yang memusatkan pikiran dan yang menjadikannya sebagai agama keselamatan yang tanpa perlu bantuan kekuatan eksternal.

Meski tanpa adanya pernyataan akan siapa yang dapat menolong dan menyelamatkannya, namun para siswa dan pengikut atau siapapun yang berteladan kepadanya pastika tetap akan merasakan bahwa dalam agama ini memiliki seorang guru besar yang sejati, guru para dewa dan manusia, yaitu: Sang Buddha sendiri, Dia yang Telah Bangkit.

Representasi Buddha

Sang Buddha atau Dia yang telah Bangkit, Dia yang telah Sadar, yang menyatukan segenap aliran dan ragam tradisi yang berkembang darinya, dan yang datang berhimpun dan menyatu dalam Waisak. Perayaan mengenai dirinya yang dirayakan oleh umat dimana saja, dan yang mencerminkannya sebagai agama universal yang memang pantas tumbuh menyuburi dunia globalisasi saat ini.

Dari perkembangan taradisi dan sejarah peninggalannya yang mengagumkan dalam budaya dan ragam seni yang mempesona dan mencerahkan terdapat banyak representasi Buddha, pelukisan tentang dirinya. Beragam pelukisan figur tentang sosoknya dalam rupang dan lukisan, serta dalam benda-benda seni mengagumkan dan mempesona.

Namun begitu, dari ekspresi para penganut Buddha yang memang memiliki dan berhak melukiskan gambarannya akan rupanya itu, dan diantara begitu banyaknya ragam gambaran tentang keindahan dirinya itu, justru semakin terasakan citra sosoknya yang sangat kuat dan mempesona dan sekaligus meneguhkan kebenaran yang satu dan sama, Buddhadharma untuk Pembebasan.

Seakan singularitas itu tak akan berdiri tanpa pluraritas dan dalam taman bunga yang menawarkan ragam warna yang indah akan terpetik dan terasakan sari wanginya yang memberi keharuman sekitar, maka Buddhadharma seakan ditakdirkan untuk tumbuh dalam mancanegara, dalam ragam budaya dalam paras dan wajah yang bermacam-macam.

Walau begitu, setiap orang tetap pasti akan dapat mengenali dan memastikannnya bahwa Dia itulah Buddha, Dia yang telah Bangkit, Dia yang telah Sadar. Dialah Kebangkitan Kesadaran, Kebangkitan Dunia, Kebangkitan Perdamaian, Kebaikan, Kesederhanaan dan Sikap Tanpa-Kekerasan.

Terhadap sosok yang dapat multi tafsir ini, siapa saja akan menemukan sari-pati darinya di dalam senyum pencerahan dan kedamaiannya itu, sebagaimana Dalai Lama mengungkapkan: “semacam getaran kedamaian dan non-kekerasan yang utuh yang keras ada di dalamnya.” Bagi Dalai Lama, Buddha adalah Kedamaian dan Non-Kekerasan.

Itulah mungkin jasa tak terhingga atas kehadirannya dan kemunculannya dalam peristiwa Waisak yang dimulai 2552 tahun lalu.. Keberkahan yang diberikannya kepada dunia, bagi umat manusia, dalam jaman dan waktu kapan pun, sepanjang masa. Selamat Waisak 2552/2008, Be Budhist, Be Happy!.

****

Posted in Refleksi | Leave a Comment »

Meniti Jalan Tengah

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Dewi Lestari

Sebuah e-mail saya terima bulan Maret lalu, info tentang retreat lima hari bersama Master Zen Thich Nhat Hanh di Hong Kong. Hati saya seketika terangkat, intuisi saya berkata: pergi. Saya pengagum karya-karya beliau, tapi tidak mempelajarinya secara mendalam. Bisikan kedua datang dari guru sekaligus sahabat saya, yang juga berkata: pergi.

Bahkan hingga saya menginjakkan kaki di Hongkong pada tanggal 11 Mei lalu, menempuh perjalanan satu jam lebih ke Wu Kai Sha, dan meletakkan koper saya di dalam kamar yang akan dihuni bersama lima orang lain selama lima hari ke depan, saya masih belum tahu pasti apa yang saya cari, dan apa yang akan saya dapat.

Tercatat sekitar 400 orang yang menginap di kompleks retreat, 400 orang datang pulang-pergi, plus 60 anggota Sangha yang didatangkan dari Plum Village. Ini memang retreat skala besar. Hampir 900 orang berkumpul di dalam aula setiap harinya. Suasana riuh dan tempo cepat yang membungkus kami seketika bertransformasi seusai Thich Nhat Hanh muncul dan memberi orientasi tentang “Five Mindfulness Trainings” yang akan kami jalankan selama retreat. Tidak hanya dalam bentuk penjelasan tapi juga pengalaman langsung yang akan dijalankan lewat meditasi berjalan, meditasi duduk, makan, minum teh, bicara secukupnya, dibantu oleh energi kolektif Sangha yang hadir membaur dengan para peserta.

900 orang lalu mulai bergerak dalam keheningan, dalam tempo lambat, dengan bungkukan hormat dan tangan berpose anjali, diiringi bunyi bel yang sesekali digaungkan untuk mengingatkan semua orang berhenti beraktivitas dan pulang pada irama napasnya. Lambat laun saya mulai memahami mengapa saya memilih pergi.

Sungguh, tidak ada kegiatan “luar biasa” yang saya lakukan di sana. Kami sarapan, bermeditasi duduk dan berjalan, mendengarkan ceramah, makan siang, istirahat, berdiskusi dalam kelompok kecil saat sore, makan malam, tidur. Namun hidup seolah-olah ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap hari adalah ritual kesadaran. Dan kita telah melewatkan kegiatan-kegiatan sederhana ini bagai angin ribut yang menyapu padang bunga. Angin yang berlomba menuju ruang kosong tanpa tahu banyaknya keindahan yang gugur di bawah sana. Dan selama lima hari kami dilatih untuk menahan laju angin badai ini, kembali menjadi udara yang bergerak semilir agar sempat memetiki bunga-bunga cantik yang selama ini tumbuh tanpa disadari di padang hidup kita.

Pemamahan itu pun terus membulat dari hari ke hari. Mulai saya mengerti mengapa guru saya menyuruh saya pergi. Pada bulan Maret, beberapa hari sebelum info tentang retreat tersebut tiba, saya terlibat percakapan dengannya, dan Sang Guru berkata: Remember that nature isn’t just about drives and impulses. Reality shouldn’t be perceived as all restriction or compromise, but as a pathway to ensure your safety towards your highest purpose. And as the middle path walker you should be aware of the dynamic between your inside and the outside world. To walk safely and respectfully means you take both realms in consideration. Dan ketika saya bertanya balik, koridor apa yang harus saya pakai, jawabannya singkat saja: five precepts.

Lima Sila ini telah digaungkan Sang Buddha sejak 2500 tahun lalu, sekilas pintas tak jauh berbeda dengan Ten Commandments, atau bahkan nasihat standar orang tua: Jangan membunuh. Jangan mencuri. Jangan berbohong. Jangan berbuat asusila. Jangan mengonsumsi apa pun yang melemahkan kesadaran. Dan terkadang, dengan konteks zaman yang jauh berubah, pola pikir yang memodern dan kian canggih, sungguh tidak mudah mengerti kedalaman perintah-perintah singkat itu, bahkan terasa naif dan tidak realistis.

Kita sering lupa, bahwa penderitaan dalam kehidupan manusia, begitu juga kebahagiaan yang didamba semua manusia tetap sama, terlepas dari zaman Abraham manusia naik unta dan sekarang manusia terbang dengan Boeing. Lebih riskan lagi, terkadang kita terjebak dalam pencerahan sebagai momentum. Kita lupa bahwa menjadi tercerahkan melibatkan disiplin dan praktek yang dijalankan seumur hidup. Kita tersesat dalam “spiritual” sebagai konsep tinggal telan, dan mengabaikan aspek “spirit” yang tak lepas dari “ritual”.

2500 tahun telah berlalu, guru-guru yang merupakan emanasi dari kebijaksanaan Sang Buddha telah hadir dan pergi, dan saya bersyukur dapat bertemu dan berpraktek langsung dengan salah seorang guru yang berhasil menerjemahkan Lima Sila ke dalam pengertian modern. “Five Mindfulness Trainings” yang dirumuskan Thich Nhat Hanh tak lain adalah penerapan Lima Sila dalam konteks zaman sekarang, sebagaimana bernamaskara dijembataninya menjadi ritual bersyukur pada bumi, orang tua, dan leluhur. Triratna dijembataninya menjadi ajaran cinta kasih, pemahaman benar, dan komunitas yang harmonis. Pada saat itu baru saya mampu mengapresiasi apa yang telah dilakukan Thich Nhat Hanh selama ini. Beliau mampu menghidangkan kemurnian ajaran Dharma dalam kemasan masa kini, tanpa mengintimidasi, tanpa kehilangan otentisitas.

Sejak lama saya menerima dan menyepakati ajaran Sang Buddha. Namun Mindfulness Retreat menjadi titik balik bagi saya. “Five Mindfulness Trainings” bukan kesaktian atau momen tunggal pencerahan yang sekonyong-konyong menghajar kesadaran, melainkan komitmen harian dan kode etik yang, jika dijalankan dengan setia, niscaya akan membuahkan mental yang bersahaja, bermakna, dan peka. Sesuatu yang masuk akal dan konkret untuk mewujudkan hidup damai yang didamba semua makhluk—terlepas apa pun bentuk dan keyakinannya. Bagi saya, koridor tersebut relevan untuk konteks hari ini dan relevan pada setiap masa.

Hari terakhir retreat. Sejak pukul setengah enam pagi semua peserta berkumpul dalam aula. Kami, yang memilih untuk berkomitmen pada lima praktek kesadaran, duduk berlutut. Dan saat saya bernamaskara, mengucapkan komitmen saya, hati sayalah yang sesungguhnya bersujud mensyukuri setidaknya tiga hal. Pertama, saya berkesempatan terlahir menjadi manusia. Kedua, saya berkesempatan mengenal ajaran kebenaran dan kasih. Ketiga, saya berkesempatan untuk meniti jalan tersebut.

Kita dapat berdiri jauh dari jalan itu, membayangkan untuk meraihnya satu hari tanpa menggerakkan satu pun kaki. Kita dapat berdiri begitu dekat dari mulut jalan, tapi kabut tebal menghalangi pandangan hingga kita berdiam lama tanpa berbuat apa-apa. Kita dapat melancong ke tepi jalan itu, berfoto sejenak, lalu pergi untuk menambah koleksi tempat-tempat wisata kita. Dan kita dapat pergi ke jalan itu, menitinya perlahan, langkah demi langkah, tanpa terbebani iming-iming yang menanti di ujung sana, dan hanya mengapresiasi komitmen dan upaya kecil kita setiap hari. Memetiki bunga-bunga mungil yang selama ini terabaikan, menahan laju angin badai yang senantiasa menggusur kaki ini keluar dari koridor. Jalan Tengah dicari bukan hanya demi filosofi, tapi bukti untuk dijalani.

Teks “Five Mindfulness Trainings” saya renungkan berkali-kali selama retreat, bahkan saya menangis jika perlu. Ada keindahan yang tak tertampung tubuh ketika pemahaman ini mengutuh. Perjalanan hidup saya… pertemuan saya dengan sahabat sekaligus guru saya… hingga selembar tiket elektronik yang menerbangkan saya ke Hongkong… tampak sebagai rangkaian penggalian untuk kembali menemukan apa yang telah tertimbun oleh debu batin dan waktu: vajra—permata yang bersemayam dalam diri. Terakhir, saya bernamaskara bagi mereka, bagi kalian, bagi kita, bagi semua makhluk, yang dengan caranya masing-masing telah menjadi guru terbaik saya.

* Teks lengkap dari “Five Mindfulness Trainings” dapat dilihat di situs resmi Plum Village: http://www.plumvillage.org

Penulis adalah seorang artis dan sastrawati.

Posted in Refleksi | Leave a Comment »

Five Mindfulness Training

Posted by yasodhara on February 8, 2009

First Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by the destruction of life, I am committed to cultivating compassion, and learning ways to protect the lives of people, animals, plants, and minerals. I am determined not to kill, not to let others kill, and not to support any act of killing in the world, in my thinking, and in my way of life.

Second Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by exploitation, social injustice, stealing, and oppression, I am committed to cultivating loving kindness and learning ways to work for the well-being of people, animals, plants, and minerals. I will practice generosity by sharing time, energy, and material resources with those who are in real need, I am determined not to steal and not to possess anything that should be belong to others, I will respect the property of others, but I will prevent others from profiting from human suffering or the suffering of other species on earth.

Third Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by sexual misconduct, I am committed to cultivating responsibility and learning ways to protect the safety and integrity of individuals, couples, families, and society. I am determined not to engage in sexual relations without love and a long-term commitment. To preserve the happiness of myself and others, I am determined to respect my commitment and the commitment of others. I will do everything in my power to protect children from sexual abuse and to prevent couples and families from being broken by sexual misconduct.

Fourth Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by unmindful speech and inability to listen to others, I am committed to cultivating loving speech and deep listening in other to bring joy and happiness to others and relieve others of their suffering. Knowing that words can create happiness or suffering, I am determined to speak truthfully, with words that inspire self confidence, joy, and hope, I will not spread news that I do not know to be certain and will not criticize or condemn things of which I am not sure, I will refrain from uttering words  that can cause division or discord, or that can cause the family or community to break, I am determined to make all efforts to reconcile and resolve all conflicts, however small.

Fifth Mindfulness Training.

Aware of the suffering caused by unmindful consumption, I am committed to cultivating good health, both physical and mental, for myself, my family, and my society by practicing mindful eating, drinking, and consuming. I will ingest only item that preserve peace, well-being, and joy in my body, in my consciousness, and in the collective body and consciousness of my family and society, I am determined not to use alcohol or any other intoxicant or to ingest foods or other items that contain toxin, such as certain TV programs, magazines, books, films, and conversation. I am aware that to damage my body or my consciousness with these poisons is to betray my ancestors, my parents, my society, and my future generations. I will work to transform violence, fear, anger, and confusion in myself and in society by practicing a diet for myself and for society. I understand that a proper diet is crucial for self-transformation and for the transformation of society.

Pada hari ke-empat, diadakan presentasi Five Mindfulness Training, yaitu Ke-lima training dibahas satu persatu dan juga disertai dengan sharing oleh 5 orang sukarelawan yang telah menerima Five Mindfulness Training sebagai pedoman dalam pelatihan diri mereka. Masing-masing dari mereka bercerita tentang bagaimana pengalaman mereka dan bagaimana mereka memperoleh manfaat dalam menjalani training tersebut. Sungguh mengharukan, karena mereka tidak segan-segan menceritakan masa-masa sulit dan juga hal-hal yang bersifat sangat pribadi kepada orang banyak. Sungguh layaknya seorang Bodhisattva.

Kalau kita baca Five Mindfulness Training diatas, maka kita segera menyadari bahwa itu tak lain dan tak bukan adalah Pancasila Buddhis. Ya, Thay mendesign Five Mindfullness Training tersebut memang bersumber dari pancasila Buddhis, tapi beliau menjabarkannya lebih detil hingga dapat lebih mudah dimengerti dan dijadikan panduan untuk kita berlatih dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian sharing dari saya, semoga bermanfaat.

Akhir kata..

I would like to invite the bell, lets enjoy our breath for 3 times..then may we find peace and Joy..

May we can always practice to bring mindfulness and awareness to everything we do,

Suryati

Posted in Refleksi | Leave a Comment »

MASIH ADAKAH BUDDHA YANG MAHA BESAR

Posted by yasodhara on February 8, 2009

MASIH ADAKAH BUDDHA YANG MAHA BESAR

BERSEMAYAM DI BOROBUDUR?

Jo Priastana

Seorang anak muda yang masih duduk di bangku SLTA pergi begitu saja dari sekolahnya dan rumah orang tuanya menengok candi Borobudur yang telah menjadi obsesinya sejak kecil, sejak dikisahkan oleh sang guru sejarahnya. Beratus-ratus km anak muda itu menempuh perjalanan untuk menjumpai sosok Buddha dan ajarannya yang terpatri dalam wujud batu yang diketahuinya dan dikenalnya sebagai monumen warisan dunia salah satu keajaiban dunia.

Sementara ayah dan ibunya mencari-carinya kesana kemari sebagai sosok anak yang hilang dan sang kepala sekolah serta guru-gurunya dibuat kerepotan, mungkin anak muda yang tengah bergerak sesuai dengan kata hatinya itu masih bergentayangan di jalan-jalan di pulau Jawa seraya mengibaskan tangannya mencari truk tumpangan atau berhenti sejenak di warung makan untuk hanya memohon seteguk air dan segumpal nasi bergaram.

Sang Buddha yang dikenalnya bersemayam di Borobudur begitu menggerakkan hati dan panggilan jiwanya. Daya tarik yang luar biasa seperti ungkapan “tremendum et fascinan,” “menggetarkan dan sekaligus menarik” dari candi agung itu mungkin telah bersemayam di hati anak muda itu bertahun-tahun, tersimpan di bawah kesadarannya untuk akhirnya di suatu hari tak terduga dengan begitu spontan dan berenergi menggerakkan langkahnya menyusuri jalan-jalan beratus-ratus km jauhnya.

Berhari-hari anak muda si anak hilang itu bermain-main di candi Borobudur pulang balik pagi sore berjalan kaki dari tempat tumpangan menetapnya di Vihara Mendut dengan bale-bale bambunya dan lantai tanahnya yang lembab serta bilik mandinya yang berlumut. Saat matahari menyingsing menyambut terang tanah dan manakala senja hadir menurunkan sang matahari dari tahta di langit tingginya adalah saat-saat yang begitu luar biasa, saat dimana sang jiwa mekar mengembang dibalut keterpesonaan kebesaran semesta diantara kemesraan pegunungan menoreh, merapi dan merbabu, dan saat dimata hati terterlungkup menyambut malam menjelang yang mengundang kesunyian dalam menyelami kesucian malam.

***

Mungkin, anak muda itu hanyalah salah satu dari sekian jutaaan manusia lain yang terpesona akan keagungan candi Borobudur. Banyak anak muda berbagai daerah dan Negara yang juga terobsesi akan candi Borobudur sehingga harus menengoknya seketika hati tergerak dan menempuhnya dengan cara apa pun.

Di suatu senja pada suatu waktu, ketika mendengar obrolan seniman-seniman muda di Taman Ismailk Marzuki, Jakarta, terpetik suara bahwa si seniman gondrong yang kerap berpetualang sedang berada dalam perjalanan menuju puncak Candi Borobudur, stupa Induk Borobudur hanya untuk duduk-hening bermeditasi di bawah bulan purnamana saat detik-detik Waisak menjelang.

Lainnya, segerombolan anak muda yang sedang bercengkerama pada suatu sore di sebuah warung makan di Jakarta kota, begitu menyadari bahwa malam hari yang beberapa jam lagi adalah saat datangnya malam Waisak langsung saja mereka bangkit tancap kaki menuju bandara Soekarno-Hatta, mencari pesawat menuju Yogyakarta tanpa mempedulikan ukuran kantongnya. Meski harus berhutang, mereka akhirnya tiba di candi agung tersebut dengan sempat mencicipi nikmatnya bersamadi di bawah curahan cahaya purnama saat detik-detik Waisak yang penuh kandungan energi spiritual dan menyetop semua aliran pikiran dan beragam ilusi yang ada.

Masih banyak lagi mereka yang terpesona akan keagungan Borobudur dan menariknya sebagai mandala kontemplasi sebagaimana Sang Buddha yang duduk hening bermeditasi, bersemayam dalam Borobudur telah berabad-abad lamanya. Seorang tua berpakaian adat Jawa di suatu siang menjelang perayaan Waisak, di bawah pohon Bodhi di sisi candi tampak dengan santainya menceritakan tentang tahapan spiritual Borobudur dan perilaku tapa kepada seorang anak muda Buddhis. Sementara Rabindranath Tagore dalam puisinya melukiskan Borobudur sebagai keaggungan dari manifestasi kesadaran Buddha.

Tidak disangsikan pula banyak pula anak-anak muda, beragam manusia dari manca negara beribu-ribu km jauhnya dari Borobudur, naik turun pesawat, gonta ganti kereta api atau andong atau becak dan menyusuri jalan-jalan berdebu datang hanya untuk dapat duduk bersimpuh dan duduk hening bermeditasi disisi stupa sebagaimana layaknya Buddha berabad-abad bersemayam di Borobudur, sebagai suatu perjalanan spiritual, pendakian jiwa tertinggi dan tenggelam dalam kontemplasi yang maha dalam, dalam kekosongan semesta, kedalaman jiwa, saat bersatunya makrokosomos dan mikrokosmos, ketika langit di luar dan langit di dalam bersatu dalam jiwa dan hati yang maha damai.

***

Namun adakah kini kita jumpai sikap-sikap dan perilaku meditative yang telah menjadi lakon dari nenek moyang kita dahulu kala itu? Perilaku yang menyelam ke dalam dasar batin dan mampu mendeteksi setiap peristiwa dunia hanya dalam getaran rasa, dimana suara gending, lemah gemulai penari jawa dan angin yang berhembus di perbukitan menoreh tidak terbedakan lagi kehalusan dan kelembutannya oleh mereka yang menikmati keheningan dan kesunyian.

Perilaku yang menghantar kepada sikap-sikap luhur dan mulia dimana ketertiban dan disiplin hidup menjadi ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan berkreasi dalam ragam seni dan budaya. Perilaku dimana setiap benda mati yang berserakan di kali progo dan sisa muntahan lahar gunung merapi itu sungguh menjelma menjadi hidup, termanifestasi dan tumbuh subur dalam bentuk candi yang mengungkapkan ketinggian jiwa dan keagangungan budi pekerti bangsa, dimana kebenaran dan kejujuran adalah tetap kebenaran dan kejujuran sebagaimana adanya (yathambhutam) tak silau oleh bungkus ayat-ayat cinta atau terbungkam oleh ayat-ayat hukum.

Perilaku dimana semuanya dapat belajar dari seonggok batu tentang hakekat kehidupan dan makna hidup bersama dimana segala apa yang terjadi dan berbuah secara lahiriah adalah berpulang dari sikap dan keadaan jiwa-batin sendiri termasuk sikap dan keadaan kebatinan suatu bangsa, dimana prasetya dalam berkarier dan komitmen dalam hidup bersama adalah nilai-nilai yang sungguh dikejar dan diperjuangkan agar integritas diri itu menyebar kemana-mana menjadi lautan kehidupan bersama yang mengukir puncak peradaban bangsa.

***

Dimana kini peradaban luhur itu berada? Dimanakah sikap dan laku itu ada terwujud di puncak Candi, puncak keheningan jiwa? Adakah Buddha yang hening dalam sikap meditatifnya masih bersemayam di Borobudur? Adakah warisan spiritual nenek moyang yang diperoleh dari para pengunjung ketika mendaki dan menuruni candi Borobudur?

“Di Borobudur tidak kutemukan apa-apa,” demikian, petikan kata dari puisi penyair Ikranegara dalam kesempatan membacakan sajaknya di Taman Ismail Marzuki di pertengahan tahun 1970-an, yang seakan menyatakan tidak ada sesuatu yang “tremendum dan fascinans,” lagi di candi agung itu, meski di pojok kamar kostnya yang gelap anak muda itu masih sempat menulis “Di Borobudur telah kutemukan sesuatu, selembut wajah Sang Buddha, setenang danau samadhi, meski hanya seonggok batu yang menjadi kerajaan abadi, dalam rupangmu, nirwana bersemayam.”

Namun tiga puluh tahun kemudian, sebuah polling yang dilakukan di jaman teknologi yang canggih dengan internetnya, Borobudur pun tercoret dari takhtanya sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Berita terbaru tentang Candi borobudur yang tidak lagi termasuk lagi dalam tujuh keajaiban dunia.

Apakah Borobudur sudah tidak ajaib lagi? Borobudur tidak lagi menjadi daya tarik utama manusia di dunia untuk mengunjunginya. Ada apa dengan Borobudur? Masih terasakankah kehadiran Buddha yang Maha Besar itu?

Apakah memang telah tidak ada lagi Buddha yang Maha Besar itu bersemayam, yang menggerakkan langkah-langkah manusia untuk datang, meyaksikan dan mengalami sendiri maha dalam keheningan itu?!

*) Penulis adalah Pendaki Spiritual Borobudur.

Posted in Refleksi | Leave a Comment »

AKSI CINTA THICH NHAT HANH

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Mencermati Hakekat Perjuangan Tanpa Kekerasan


Beberapa hari setelah aksi damai para bhiksu di Myanmar dapat diredam oleh junta militer, hati pun menjadi risau manakala stasiun TV Aljazeera kerap memutar ulang kembali rekaman tindak kekerasan yang dilakukan junta militer terhadap para bhiksu dan rakyat Myanmar itu. Dalam tayangan itu terlihat para bhiksu dan rakyat berlarian, jatuh tersungkur ke dalam selokan atau menaiki pagar beruji menghindari pukulan, kejaran dan terjangan laras sepatu serdadu yang menyepak-nyepak dan menendan-nendangnya tanpa kenal kasih.

Rasa hati pun menjadi lebih teriris lagi manakala perjuangan para bhiksu yang berakhir anti klimaks itu dipandang sebagai suatu kekalahan, saat membaca tulisan Maruli Tobing (Kompas, 11 Oktober 2007) “Pedang Dilawan dengan Pedang,” sebuah tulisan yang menandakan epilog tentang Myanmar dan menyiratkan bagaimana junta milter telah amat dengan mudah menaklukkan perjuangan para Bhikkhu tersebut, mengingat junta militer masih menyimpan dan belum menggunakan senjata pamungkasnya yakni melakukan pembataian seperti pada peristiwa unjuk rasa di tahun 1988.

Sungguh suatu perasaaan kosong melompong yang hadir dan tak tahu harus berbuat apa, yang datang justru dihari kemenangan (Idul Fitri) mereka yang telah berhasil menaklukan dirinya dalam berpuasa sebulan penuh. Ragam pertanyaan tentang perjuangan para bhiksu dan rakyat di Myanmar itu pun bermunculan tak kunjung berhenti, seputar apa, bagaimana, kenapa, dan harus ke siapa?

Pantaskah perjuangan dengan cara damai dan tanpa kekerasan itu harus dihadapkan dengan kata kekalahan? Betulkan perjuangan dengan cara tersebut telah tidak lagi efektif untuk sebuah kemenangan politik? Haruskah terselip ambisi dari ego dan pamrih berupa pencapaian kemenangan politik dalam perjuangan tanpa kekerasan itu? Atau bahkan perlu mengamini bahwa kemenangan politik itu memang hanya dapat dicapai sesuai dengan judul tulisan tersebut diatas “pedang dilawan dengan pedang”?

Dalam kepasrahan di hari yang fitri itu, dan setelah mendapat penghiburan pada hari sebelumnya karena datangnya email dari Dewi Lestari yang mengirimkann tulisannya mengenai pengalamannya mengikuti retreat Thich Nhat Hanh di Hongkong, Maret 2007, maka pikiran pun berkelabat kepada sesosok Thich Nhat Hanh, pejuang tanpa kekerasan dalam perang Vietnam dan nominator Noble Prize yang kini bermukim di Paris.

Dan hari libur yang semula telah disiapkan untuk membaca buku “What Makes You Not A Buddhist,” karya Dzongsar Jamyang Khyentse, pesanan yang baru datang dari Amazon.com pun digantikan dengan menyimak kembali buku Aksi Cinta Thich Nhat Hanh yang lama tergeletak begitu saja, sebuah buku dengan kata pengantar pastor pejuang politik hati nurani di Indonesia, Alm. Romo Mangunwijaya, yang diperoleh sepuluh tahun lalu dari mantan siswa nakal, Daniel Johan aktivis Hikmahbuddhi yang juga bertindak sebagai penterjemah dan tokoh dibalik penerbitan buku itu.

Diseberang Kematian

Seketika ingatan pun melayang pada bagian pertama buku tersebut, dimana penulis dengan kwalitas kerohaniannya mampu menceritakan dalam sebuah percakapan dan dialog tentang perjalanan murid-muridnya yang telah meninggal, dengan sangat jernih dan tampak realistis. Membaca bagian pertama yang berjudul “Perjalanan Sesudah Kematian,” ini melayangkan kesadaran saya akan suasana mistis ketika menyaksikan film “The Others” yang dibintangi Nicole Kidman dimana yang tampak berperan nyata dan hidup itu adalah justru para makhluk yang telah meninggal.

Dalam bagian pertama ini bagaimana realistis dan jernihnya TNH melukiskan dialog keempat murid-muridnya yang meninggal dibantai tentara itu dengan Mai, bhiksuni muda muridnya yang lebih dahulu meninggal membakar diri pada malam hari 16 Mei 1967 di Pagoda Tu Nghiem, sebagai wujud protesnya terhadap perang Vietnam dan menaklukkan hati batu para pelaku perang.

Mai menjemput murid-murid SYSS (School of Youth for Social Service) pada pukul 01. 00 dini hari, sesaat setelah keempat siswa itu Hy, Lanh, Tho, dan Tuan ditembak mati di galangan sungai Saigon pada 5 Juli 1967, di malam dimana langit penuh bintang, tanpa bulan, dan TNH melukiskan keindahan alam kehidupan lain ini serasa tidak jauh berbeda dengan dunia kehidupan manusia nyata, dengan menggambarkan bahwa kematian itu adalah juga kehidupan.

Penulis lebih dari 60 buku diantaranya “Call Me by True Names, Peace Is Every Step, The Miracle of Mindfulness,” ini pun melukiskan kematian itu seperti membakar sebuah arang yang menjadi merah dan panas untuk kemudian berproses menjadi abu. Panas itulah yang menghantar perubahan wujud sebagai bentuk “kehidupan setelah” yang memulai suatu proses mempengaruhi yang tidak terganggu baik dalam energi maupun fisik seperti reaksi perubahan yang berantai.

Bagian pertama buku yang memperlihatkan percakapan para pejuang yang telah meninggal itu nyatanya menjadi penghantar untuk semakin mengenali hakekat perjuangan ahimsa atau tanpa kekerasan melalui 16 tulisan berikutnya yang terdapat pada bab kedua. Bagian kedua yang juga menceritakan tentang berbagai pengalaman nyata di dalam memperjuangkan perdamaian Vietnam melalui prinsip-prinsip ahimsa menurut tradisi Gandhi merupakan tamasya kemanusiaan melalui kata-kata berenergi yang mampu menyentuh hati dan cinta kita, cerminan dari hidup TNH sendiri yang damai, sederhana dan penuh cinta.

Betapa hadirnya perjuangan tanpa kekerasan itu tidak dapat dilepaskan dari cinta, begitu pula, tiada cinta yang/bila diam dihadapan tindak kekerasan yang terjadi. Dalam pengalaman cinta-nya ini TNH menyatakan, “cinta memberi kita kesempatan untuk melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang tidak memiliki cinta.” Buku “Aksi Cinta” dari Ketua Delegasi Perdamaian di Vietnam di tahun-tahun 60-an dan Ketua Delegasi Perdamaian Buddhis pada perundingan damai di Paria ini dapat dipandang sebagai sumber inspirasi dan kitab suci bagi para pejuang, aktivis anti kekerasan jaman kini.

Kekuatan Cinta

Cinta merupakan suatu aksi sebagaimana dengan kesadaran dan kehidupan itu sendiri yang dinamis tiada statis. Karenanya bila TNH membuka buku ini dengan percakapan tentang pejuang tanpa kekerasan yang telah meninggal itu dalam suatu percakapan antar roh, maka sesungguhnya letak dari kekuatan perjuangan ahimsa itu adalah kesadaran bukan sekedar pemahaman terhadap peristiwa kematian itu sendiri sebagai sesuatu pengalaman keberlangsungan yang tak perlu ditakuti.

Karena pemaham bukanlah kesadaran, dan orang bisa menjelaskan apa yang dia pahami. Namun soal kesadaran? Soal cinta? Soal ahimsa? Tiada lain adalah action, action, dan action sekalipun action itu tidak luput dari perjuangan dan pengorbanan, dari jerih, perih dan nyeri, dari luka dan duka, karena sesungguhnya pembayaran dari penemuan dan pengalaman tanpa kekerasan, cinta dan tanpa-aku, atau solidaritas itu sendiri adalah kehidupan itu sendiri, adalah penderitaan dan pertumbuhan manusia itu sendiri yang sama-sama memikul swastikanya masing-masing.

Karenanya bagi TNH sendiri, ia tidak mengenal kata benci untuk mereka yang melakukan kekerasan sekalipun terhadap dirinya. Pedang tidak harus dilawan dengan pedang, dan prinsip perjuangan tindak kekerasan bukanlah kemenangan politik untuk kekuasaaan, tapi adalah penaklukkan terhadap keakuan sendiri, mengembalikan manusia kepada fitrahnya mengenali jati-diri-sejatinya yang sementara ini selalu dibelenggu oleh nama, konsep, prasangka, label, dan ketakutan, kekhawatiran serta ilusi terhadap dirinya sendiri.

Lihatlah bagaimana sang prajurit junta itu yang seketika mengenali dirinya sebagai manusia dan juga melihat para bhikhu sebagai manusia yang bukan sekedar label pengunjuk rasa atau demonstran menjadi gemetar untuk menarik pelatuk senjatanya. Dalam kemanusiaan semuanya satu dan sama, sependeritaan dan sepenanggungan, dan saling ketergantungan, saling berpenetrasi satu sama lain, sebagaimana di dalam sehelai kapas atau kertas terdapat yang lainnya air, udara, pikiran, keringat maupun nafas manusia.

Dan kekuatan serta kemenangan dari prinsip perjuangan ahimsa itu terletak dalam kemanusiaan yang bersemayam di hati semua orang itu, dan ketika semuanya tersentuh dan luruh bersama cinta, termasuk para pimpinan junta militer Myanmar itu. (jo priastana).

“AKSI CINTA: Kumpulan Tulisan Mengenai Perubahan Sosial Tanpa Kekerasan”

Penulis: Thich Nhat Hanh, diterbitkan oleh Yayasan Pencerahan dan Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta, 1996. Judul Asli: “Love in Action: Writings on Nonviolent Social Change/Thich Nhat Hanh, 1993.

Posted in Pustaka | Leave a Comment »

KESEMPURNAAN SVASTIKA KEMENANGAN DARI PENDERITAAN

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Dalam bahasa Sansekerta Svastika berarti “all is well” yang dapat diartikan sebagai “segalanya adalah baik”. Arti yang selaras dengan gambarnya yang berupa empat tangan yang sama panjangnya, dan yang gambar ini pun menunjukkan kesempurnaan karena kalau dibalik atau diputar kemanapun dan pada posisi arah manapun akan tetap sama sempurnanya seperti itu.

Symbol yang telah ditemukan sejak jaman dahulu dan dipergunakan di banyak tempat, baik di Mesir, Roma, Yunani, Persia dan khususnya di India ini juga terdapat di dalam lingkungan Buddhis, kata Sankrit yang berarti “good fortune, luck and well being.” Svastika dikatakan berisikan seluruh kesadaran Buddha dan dapat ditemukan terekam di dalam berbagai macam “Buddha images”. Svastika merupakan juga symbol pertama dari sejumlah 65 simbol Buddha. (Damien Keown, A Dictionary of Buddhism, 2003).

Sebagai symbol yang pertama svastika sering juga digunakan sebagai tanda yang mengawali permulaan kali pembelajaran Buddharma, yakni mengenai Hukum empat kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) yang merupakan hukum kesunyataan dimana Buddha membabarkan ajarannya pertama kali, yaitu: kesuyataan tentang dukkha, kesunyataan tentang sumber dukkha, kesunyataan tentang akhir dukkha, dan kesunyataan tentang jalan melenyapkan dukkha.

Dengan begitu, svastika yang juga mengacu kepada empat kesunyatan mulia memiliki makna yang sangat dalam yang menyangkut inti dan maksud dari dharma yang diajarkannya yaitu mengenai “penderitaan dan pembebasan,” seperti yang sering dikatakannya juga. Pesan ini sekaligus menunjukkan makna sejati dari peran dan tugas luhur Sang Buddha yang berkarya demi kebahagiaan semua makhluk, sebagaimana pekik kemenangannya ketika mencapai Buddha yang mengawali terbebasnya dari penderitaan.

Karena itulah, svastika tidak lepas dari tugas dan peran Sang Buddha di dalam mengatasi penderitaan. Ada penderitaan, ada sumber penderitaan, ada lenyapnya penderitaan dan ada jalan melenyapkan penderitaan. Inilah simbol solidaritas dengan mereka yang menderita dari seorang Buddha yang selalu mendengarkan dan mengunjungi berbagai lapisan masyarakat yang menderita, tidak hanya dari stratifikasi social yang diatas namun juga kepada masyarakat marginal, seperti mereka yang buta, bisu, tuli, lumpuh, lapar, haus, telanjang, dan tunawisma, dan kaum perempuan yang juga turut diangkatnya ke level paling tinggi kesetaraan dalam kesucian.

Ruang lingkup solidaritas dari tokoh utama di dalam agama Buddha ini tidak hanya berhenti pada level personal semata namun juga level social. Buddha bukan orang penakut yang menghindari bila harus berkonfrontasi dengan struktur kekuasaan dan tirani nilai budaya diskriminatif maupun melawan kekuasaan politik-religius pada masa itu. Melalui svastika, symbol ajaran pertama kalinya itu, Buddha menyadari akan peran dan tugasnya dalam amanat penderitaan manusia bahkan penderitaan semua makhluk.

Melihat svastika yang menyimbolkan “kesempurnaan” atau kemenangan atas penderitaan itu mengartikan pula bahwa kita harus bergumul terlebih dahulu dengan berbagai bentuk penderitaan. Kita diundang untuk melawan setiap bentuk penderitaan baik dalam level personal-individual maupun social-kontekstual, baik dalam gejalanya, penyebabnya maupun cara atau jalan mengatasinya. Sebab dalam kaca mata svastika dengna kata sansekertanya itu, “kesempurnaan” nirvana itu bukanlah semata bermakna personal dan individual, religius, filosofis semata namun juga social-kolektif, spiritual dan emansipatoris.

Bersama svastika yang diputar Sang Buddha pertama kali, maka dengan menyesuikamn konteks saat ini kita pun akan mampu melihat realitas penderitaan di Indonesia. Adanya banjir, gempa bumi, dan tanah longsor yang memperburuk kondisi kemanusiaan, seperti dalam antrean panjang korban bencana kemanusiaan, kelangkaan beras yang dialaminya yang semuanya itu menanti untaian solidaritas dan karya social yang bukan sekedar dijadikan obyek untuk mengangkat popularitas di depan public layaknya politikus atau selebritis namun sungguh-sunguh dengan amanat agung demi pembebasan penderitaan.

Dengan etos dan spiritualitas solidaritas putarlah svastika ke segala arah agar menjadi tanda kesempurnan, kemenangan atas penderitaan, dimana semua sisi-sisi dalam empat kesunyataan itu menjadi nyata dan kontekstual. Jalan kemenangan itu tampak di dalam kesetiakawanan dan solidaritas terhadap mereka yang mengalami penderitaan baik yang sudah ada secara inheren maupun yang terwujud secara structural sebagai korban kekerasan dan ketidakadilan.

Kemanapun arah svastika itu diputar atau dibalik, kemenangan atas penderitaan senantias menanti, sebagaimana Buddha yang membalikkan penderitan menjadi pekik kemenangan dan menciptakan kondisi kehidupan dan tata nilai manusiawi yang sesuai dengan Dharma penuh damai, sejahtera sebagaimana kabar Dharmanya yang membahagiakan. Kemanapun angin berhembus tak akan dapat melawan dari kebajikan berputarnya svastika.

Maka sebagaimana penderitaan yang telah ada sejak manusia menyejarah di bumi ini, para siswa sejati yang menjadi perpanjangan tangan dan hati Buddha pun sepanjang abad ke abad telah menggerakkan svastika ke segala penjuru menjumpai berbagai fenomena penderitaan dan mewujudkan segala tekad dan upayanya membuka selubung belenggu penderitaan selalu di dalam semangat persaudaraan agung dan kerukunan dalam karya dharma yang mencerahkan dan menjadi sumber inspirasi di segala jaman (Jo Priastana).

Posted in Desana | Leave a Comment »

CAKRAWALA DHARMA

Posted by yasodhara on February 8, 2009

Adalah para Yang Ariya yang dengan mata kebijaksanaannya mampu melihat Dharma (Sansekerta) atau Dhamma (Pali), sebuah kata yang melingkupi makna yang sangat luas. Kenapa para ariya? Karena para ariya adalah orang yang telah tersucikan, orang yang telah mengatasi dukkha, yang telah menembus Dhamma bahwa hakekat “segala sesuatu adalah tanpa inti yang kekal.” “Sabbe dhamma anatta’ti, yada pannaya passati. Attha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiya.” “Segala sesuatu adalah tanpa inti (yang kekal).

Yang ariya yang telah mencapai kesempurnaan, yang telah memahami Dharma, menunjukkan bahwa Dharma merupakan jalan untuk mencapai kesucian, dan jalan untuk mencapai kesucian, kesempurnaan ini hanya dapat dipahami dengan setepat-tepatnya dan juga dibabarkan oleh mereka yang telah mencapai kesucian.

Pengertian Dharma (Dhamma) itu sendiri memang mengandung makna yang sangat luas dan dalam, bagaikan cakrawala tak bertepi. Mahavagga: “Dhamma ini amat dalam, sukar diketahui, sukar dipahami, luhur, amat dalam, mengatasi pemikiran, halus dan hanya dapat diselami oleh para bijaksana (yang telah mencapai Penerangan Sempurna).

Prof. Th. Scherbatsky, misalnya dalam bukunya “The Central Conception of Buddhism and the Meaning of the Word Dharma,” sebuah buku yang bersumber dari sebuah kitab Mahayana yaitu Abhidharmakosa yang disusun oleh Vasubhandu, menyebutkan arti kata Dhamma tersebut dalam empat klasifikasi, yaitu: secara harfiah, ontology, etika, dan keagamaan.

Secara harafiah dalam bahasa Sansekerta, kata itu mempunyai akar-kata dhr, yang berarti ‘berada dalam dirinya’ atau ‘mengandung, menjunjung, menunjang dirinya.’ Kata yang menunjukkan berada ‘ada’ (what exists) ini mengacu kepada segala sesuatu; dari yang konkrit seperti hasil kebudayaan, peradaban atau debu yang tidak terkirakan kecilnya sampai yang paling abstrak seperti pikiran, perasaan, karma, buah karma, Nibbana, dan jalan untuk mencapai Nibbana.

Pemahaman secara harafiah ini menuntun kepada pemahaman secara ontologis, yakni sebagaimana yang diungkapkan dalam Anguttara Nikaya, yang mengelompokkan tentang “ada” sebagai sankhata-dhamma (ada yang bersifat tidak mutlak) dan asankhata dhamma (ada yang bersifat mutlak, tidak berkondisi). Pemahaman ini hanya dapat dicapai oleh para ariya yang telah tidak ditutupi oleh ketidaktahuan (avijja), yang telah mencapai Nibbana atau padamnya api keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.

Dengan begitu, para ariya adalah mereka yang sungguh-sungguh memahami kebenaran yang transenden yang bersifat asankhata (ada, yang bersifat mutlak), sebagaimana yang terumus dalam Udana 8 ayat 3: Atthi Ajata, abhuta, akata dan asankhata. Ada (atthi), yang tidak dilahirkan (ajata), yang tidak menjelma (abhuta), yang tidak-diciptakan (akata), dan yang mutlak (asankhata), yang menjadi prinsip eskatologis (pembebasan) dan prinsip teleologis (tujuan akhir) umat Buddha.

Untuk itulah umat Buddha mengambil perlindungan kepada Dharma: “Dhammam saranang gacchami” (saya berlindung pada Dharma), dimana Dhamma sebagai Kebenaran Mutlak merupakan hulu dan muara sungai Dharmakaya, sebagaimana yang ditegaskan di dalam Maha Parinibbana Sutta: “Setelah saya parinibbbana, Dhamma dan Vinaya yang saya ajarkan akan menjadi Guru dan Pemimpinmu..”

Itulah Tubuh Dharma (Dharmakaya), aspek dari batin yang suci, cerah, cemerlang, kedamaian yang terlihat dari ajaran-Nya. Tubuh dengan mana beliau mengajar, rupakaya/nirmanakaya (tubuh perwujudan), tubuh jasmani yang merupakan bagian dari proses pribadi yang tidak kekal. Sambhogakaya (tubuh kebahagiaan) adalah batin (nama) beliau semasa hidup; nibbana yang dialami selagi masih hidup.

Dhamma secara etika terpantul dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, dalam perilaku umatnya. Secara etika, berarti hukum moral, kejujuran, kelakuan yang baik, kewajiban, dan berhubungan erat dengan pengertian karma, menyangkut baik dan buruk perilaku, dan yang mencerminkan Dhamma sebagai jalan (magga) menuju tujuan akhir.

Tujuan sekaligus jalan, jauh sekaligus dekat ada disini, sebagaimana dinyatakan dalam Dhammanussati: “Dharma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Buddha; berada sangat dekat, tidak dibatasi oleh waktu, layak untuk diperlihatkan, membawa kepada kebebasan, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.”

Makna etis Dhamma ini akan semakin terlihat di dalam Digha Nikaya: “Gotama yang mahamulia terbangun karena sila, Samadhi, panna, kebebasan (dari samsara) yang merupakan Dhamma Tertinggi,” dan sekaligus makna ini menuntun kita kepada pemahaman secara keagamaan, yakni yang mencakup pengertian pengertian Dhamma sebagai Kebenaran Mutlak (yang transenden) dan Dhamma sebagai Yang Menguasai dan Mengatur Alam Semesta (yang immanen).

Makna Dharma yang dalam dan luas itu akhirnya dapat teringkas secara estetis dalam: Saddhamma “dhamam yang benar” “dhamma yang baik”, karena baik/indah pada permulaan, indah di tengah, dan indah pada akhirnya, yang telah mempesona banyak manusia dan makhluk dan menghantar kepada pembebasan, menciptakan banyak ariya suci, dan sekaligus menempatkan para ariya sebagai pembimbing dharma bagi umatnya.

Dhamma dalam makna agama yang disebut juga sebagai sasana inilah yang akan selalu dilestarikan, dipelihara, dan dibabarkan oleh para siswanya tanpa kenal lelah. “Sabba danam dhamma danam jinatti, dana dhamma melebihi semua dana,” sebagaimana yang digerakkan oleh para siswa-siswanya. (Jo Priastana).

Posted in Desana | Leave a Comment »

TAHUN BARU DAN REINKARNASI SOSIAL

Posted by yasodhara on January 22, 2009

oleh Jo Priastana

Filsuf Yunani Herakleitos (500 SM) bilang hakekat segala sesuatu adalah perubahan. Tak ada orang yang menyangkal mengenai perubahan ini. Bahkan, Barack Obama, Presiden AS ke 44 yang baru saja terpilih sungguh mempercayai dan dapat membuktikannya, dengan menyatakan Change, We Can Belive In! Perubahan. Itulah yang mencirikan fenomena dan kehidupan ini dan yang memungkinkan konsep waktu mengalir menghadirkan tahun baru 2009!

Segalanya berubah bagai arus sungai yang mengalir. Bila filsuf Yunani lainnya, Parmenides (515-440 SM) menyatakan kebalikannya bahwa yang ada hanyalah ketetapan, maka ketetapan ini pun barangkali hanya mungkin di dalam lintasan perubahan. Seperti arus listrik dalam nyalanya lampu iklan yang bergerak cepat membentuk kesatuan rentetan kata-kata yang sesungguhnya terjadi karena adanya rentetan lampu yang hidup-mati dengan cepatnya.

Perubahan sebagai ciri kehidupan juga diungkapkan Sang Buddha sebagaimana yang dinyatakannya dalam hukum kesunyataan anicca (tidak kekal), anatta, (tiada substansi yang berdiri sendiri) dan dukkha (fenomena penderitaan sebagai yang tidak memuaskan). Melalui arus perubahan dan ketidak-kekalan serta tiada subastansi diri yang kekal itulah menghadirkan samsara (sejarah eksistensial) manusia melalui reinkarnasi penerusan kelahiran kembali (punarbhava) yang merupakan ziarah manusia dalam menyelesaikan segala sesuatu yang masih belum memuaskan.

Segala yang belum memuaskan memerlukan perwujudannya kembali. Perubahan yang menandai beragam fenomena kehidupan dan menjadi ciri segala apa yang terdapat di alam semesta ini menunjukkan bahwa kehidupan ini adalah suatu proses perwujudan baru yang terus-menerus. Dalam bingkai hukum kesunyataan lainnya seperti hukum niyama (ketertiban bersyarat), fenomena perubahan atau reinkarnasi itu terjadi baik dalam dunia inorganic (utu-niyama) maupun dunia organic (bija niyama), serta pada ragam dunia kehidupan, baik itu lingkungan budaya maupun lingkungan sosial, baik pada dunia ide (citta) maupun dunia kesadaran (vinnana) serta pada tindakan-tindakan (karma) dan kehidupan bersama manusia.

Dunia sosial pun tak luput dari hukum perubahan. Reinkarnasi sosial terjadi sepanjang sejarah dan peradaban manusia. Dalam perjalanan waktu, manusia hadir, tumbuh dan berkembang dengan kesosialannya menumbuhkan dan memperbaharui sistim-sistim sosialnya. Sistim sosial masyarakat jaman batu beralih menjadi sistim sosial masyarakat jaman perunggu, jaman besi, atau sistim sosial masyarakat agraris yang tumbang berganti sistim sosial industrial, dan sistim sosial feudal, monarki yang beralih ke sistim sosial yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang semakin global dalam jaringan internet mencairkan sistim sosial yang terpusat dan menghadirkan perwujudan system sosial baru hasil interaksi dari beragam sistim sosial.

Segalanya menghadirkan kebaruan. Alam berubah, waktu mengalir, peradaban manusia tumbuh, berkembang dan lenyap, jutaan sel dalam tubuh mati dan lenyap sepanjang hari sebagaimana manusia yang selalu hadir dan lenyap, lahir dan mati dan bertumimbal lahir bersalin wujud baru dalam ziarah samsara-nya. Lingkungan budaya dan lingkungan sosial manusia berubah, menampakkan pembaharuan dan mewujudkan kehidupan barunya yang merentang dalam aliran waktu yang tak terbatas (amitayus).

Mempercayai perubahan berarti kita tumbuh dalam kehidupan. Menjalani kehidupan berarti berani menatap perubahan yang senantiasa menghadirkan pembaharuan. Karenanya kelahiran kembali (reinkarnasi) itu merupakan suatu perjalanan hidup baru, perjalanan kembali menemukan pembaharuan kehidupan, dimana diri yang tidak ber-substansi kekal itu (anatta) yang tidak memuaskan (dukkha) sesungguhnya adalah tubuh sosial, diri altruis yang mewujudkan tubuh sosial dan berujung pada pembaharuan sosial. Kemanakah arah perwujudan baru dari tubuh sosial masyarakat kita di tahun 2009 ini?

Perjalanan kehidupan dimulai dengan awal baru dalam kondisi yang telah diperbaharui. Layaknya sepasang pengantin yang mendapat ucapan selamat menempuh hidup baru, maka kehidupan sosial-politik, seperti pemilu 2009 merupakan malam pengantin dari berbagai kelompok sosial dan lapisan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan pembaharua, sebagai suatu momentum peralihan kehidupan atau titik- antara (antarbhava) untuk terjadinya reinkarnasi sosial lahirnya Indonesia Baru.

Dalam konteks perjalanan spiritual manusia, reinkarnasi terjadi sebagaimana juga terjadinya perkawinan dan kematian. Pertemuan dan perpisahan yang merupakan fenomena yang satu bagaikan dua sisi dari satu kepinng mata uang yang satu dan sama, dimana arus penyatuan (kamma tanha) dan dambaan akan kehidupan baru (bhava tanha) terus berlanjut melalui kerjanya kesadaran penerusan (patisandhi vinnana) dan kesadaran menjelang ajal (cutti citta) yang mempesona terjadinya perwujudan tubuh dan kesadaran baru (nama-rupa) serta lahirnya generasi baru.

Reinkarnasi terjadi dalam mengenakan tubuh baru sebagai ziarah samsara, lingkaran kelahiran yang terus berulang guna menemukan nirvana. Nirvana yang mengatasi segala yang tidak memuaskan (dukkha) dan merengkuh kesempurnaan dalam paradoks dialektika yang menyatukan segaka wujud dualisme; lahir-mati, duka cita-suka cita dalam titik pusat keheningan, kepenuhan dalam kekosongan (sunyata).

Oleh kecerdasannya, manusia yang bijaksana dapat mengarahkan kehidupan dan mengendalikan putaran nasibya.. Namun sering kali, orang yang beba yang meninggalkan kesadarannya sangat menyandarkan nasibnya pada bintang yang berada jauh di langit tinggi. Namun, apa yang bisa diberikan bintang-bintang itu bila tanpa usaha diri sendiri. Sang Buddha pernah berkata: “kesadaran adalah kehidupan dan kepandaian merupakan bintang keberuntungan kita.”

Dunia ini merupakan suatu fenomena yang tidak abadi. Kita merupakan bagian dari dunia ini dalam suatu segmen waktu yang singkat dan mengalami transformasi tak terbatas. Setiap kata yang ditulis, setiap batu yang dipahat, setiap lukisan artistik, setiap stuktur kebudayaan, setiap generasi manusia pada akhirnya akan lenyap, seperti halnya daun gugur di musim semi yang akhirnya akan dilupakan. Namun, karena setiap eksistensi itu tumbuh dalam saling bergantung satu sama lain (pratitya samutpada) dan saling berpenetrasi, maka dalam kelenyapannyai itu mereka pun bersintesis menarik unsur-unsurnya satu sama lain dan mengalami reinkarnasi, bertransformasi dan menemukan pembaharuan kembali dalam perwujudannyas yang baru.

Perlu berapa lama kita menjalani hidup? Adakah kehidupan saat ini tidak cukup juga hingga perlu berlanjut pada kelahiran berikutnya? Dikatakan oleh Sang Buddha bahwa nilai kehidupan itu bukan terletak pada panjang pendeknya hidup. Hidup seratus tahun belum tentu sebaik kalau menjadi seorang yang sangat waspada dan sadar, berguna meski dalam sehari. Karenanya bukan waktu masa lalu dan waktu masa depan yang menentukan perubahan, namun kebangkitan kesadaran dan tindakan-tindakan saat inilah yang merangkum dan memberi makna masa lalu serta menentukan masa depan.

Dalam waktu masa kini itulah ada keberadaan dan kehidupan serta terjadi perubahan maupun pembaharuan. Di mana tidak ada perubahan dan pembaharuan maka di situ tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan. Hanya dalam kehidupan saat ini dan di sini yang terus menghadirkan perubahan dan pembaharuan sebagaimana juga tumbuhnya kesadaran terus menerus. Karena segala sesuatu yang hidup ada waktunya, maka biarkanlah dia hadir. Kehidupan itu sendiri adalah kesadaran, maka biarkan kesadaran itu bangkit. Kebangkitan kesadaran itulah yang dinamakan Buddha.

Kebangkitan kesadaran (Buddha) yang terentang dalam waktu tak terbatas dan mengalir secara abadi (amitabha)) itu terus aktif berkarya mewujudkan tubuh dharmanya (dharmakaya), menjadi tubuh sosial Bodhisattva. Bodhisattva yang bersifat altruis, penuh damai, kasih sayang dan terus berkarya sepanjang waktu bagi pembebasan makhluk yang menderita itu tidak lain adalah reinkarnasi sosial pencerahan Buddha. Bodhisattva yang tidak lain adalah diri kita sendiri yang hidup bermakna bagi orang lain dan yang menjadikan kebangkitan kesadaran sebagai kekuatan spiritual untuk menciptakan transformasi sosial, mewujudkan perubahan dan pembaharuan sosial. Selamat Tahun Baru 2009! (Majalah TAPIAN, Edisi Januari 2009).

Posted in Refleksi | 1 Comment »

Happy Vaisakh

Posted by yasodhara on January 20, 2009

happy-vaisakh

Happy Vaisakh

Hari Suci Waisak merupakan hari suci utama umat Buddha yang dirayakan dalam rangka memperingati tiga peristiwa penting yang terjadi dalam hidup Sang Buddha Gautama atau Buddha Sakyamuni, yaitu: hari kelahirannya, hari pencapaian penerangan sempurna, dan hari wafatnya atau Parinibbana.

Dalam buku “ Happy Vaisakh: Tiga Peristiwa Suci dan Maknanya Bagi Dunia Kehidupan,” ini selain tersajikan berbagai tulisan tentang kehidupan Sang Buddha seputar tiga peristiwa Waisak itu juga dilengkapi dengan topik-topik penting lainnya yang bersifat informative dan praktis, seperti:

Detik-Detik Waisak Sampai Tahun 2026, Waisak dan Semangat Buddha Jayanti yang menyertai Kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia di tahun 1950-an, serta komunikasi pencerahan supersingkat antara Sang Buddha dan Maha Kasyapa bagaikan layaknya SMS(Short Message Service), maupun kumpulan SMS Waisak berupa puisi-puisi singkat yang mencerahkan,

Lebih jauh buku “Happy Vaisakh” ini juga diperkaya dengan rangkaian tulisan Waisak kontekstual yang pernah dimuat di dalam berbagai surat kabar dengan berbagai topiknya yang menarik dan actual, serta yang memperlihatkan relevansi makna Waisak bagi dunia kehidupan.

Dengan begitu, Buku “ Happy Vaisakh” ini selain akan mengajak pembaca memahami sepenuhnya tentang tiga peristiwa suci yang terjadi dalam kehidupan Sang Buddha, diharapkan juga akan mampu memetik makna Waisak dalam kehidupan sehari hari atau memahami pesan universal Waisak di tengah-tengah dunia kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Happy Vaisakh!

Posted in Books | Leave a Comment »